Hukum Menyetubuhi Istri yang Ditalak Bâ'in Shughra sebelum Memperbarui Akad Nikah
22-4-2019 | IslamWeb
Pertanyaan:
Saya menikah enam tahun yang lalu, dan telah mempunyai dua orang anak. Pada tahun yang lalu, saya meminta talak khulu`, karena suami saya tidak memberi saya nafkah dan menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang haram. Lalu jatuhlah talak suami saya kepada saya, padahal ia tidak menginginkannya. Enam bulan yang lalu, ia datang menangis dan ingin rujuk demi anak-anaknya. Ia berbicara dengan ayah saya, dan ayah saya pun menyetujui keinginannya untuk rujuk itu. Masalahnya, ayah saya kembali ke Spanyol sebelum dilangsungkan akad nikah kami yang baru, karena di Perancis, pemerintah meminta berkas-berkas seperti Akte Kelahiran dengan tanggal yang harus baru. Kami pun meminta berkas-berkas tersebut ke Maroko (negeri asal kami), dan itu memakan waktu lama. Kami sudah berhubungan badan sebulan sebelum akad nikah yang baru. Bagaimana pandangan Islam tentang hal ini, apakah haram, dan apakah kami wajib membayar kafarat atau bagaimana? Sekarang kami telah melakukan akad nikah lagi.
Jawaban:
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Karena talak itu dijatuhkan berdasarkan permintaan dari Anda dengan khulu`—sebagaimana dijelaskan dalam pertanyaan, maka dengan jatuhnya talak itu, Anda berarti telah berstatus ditalak Bâ'in Shughra (kecil). Anda menjadi perempuan asing baginya, sama seperti perempuan yang lain, sehingga ia tidak boleh menghubungi Anda dan tidak boleh berkhalwat dengan Anda, apalagi yang melebihi itu.
Oleh karenanya, apa yang telah Anda lakukan sebelum memperbarui akad nikah tersebut merupakan perbuatan zina murni yang tidak memiliki alasan yang dapat menggugurkan hukuman had, apalagi untuk menghapuskan dosanya. Namun jika Anda berdua telah bertobat kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ, Anda berdua boleh memperbarui akad nikah dengan memenuhi syarat-syaratnya, seperti adanya wali, saksi-saksi, dan mahar. Hal itu harus dilakukan setelah istibrâ' (bersih) dari hasil zina, agar air mani zina tidak bercampur dengan air mani hasil pernikahan.
Wallâhu a`lam.