Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Ada dua pendapat di kalangan ulama tentang hukum menyetubuhi wanita (istri) yang sedang mengalami istihâdhah:
Pendapat pertama: Melarang. Pendapat ini diriwayatkan dari 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Al-Baihaqi dalam kitab Sunan Al-Kubra. Pendapat ini juga merupakan pendapat Ibnu Sîrîn, Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakha`i, Sulaiman ibnu Yasâr, dan lain-lain. Ia juga merupakan salah satu dari dua pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad.
Para pemilik pendapat ini berdalil dengan mengatakan bahwa darah istihâdhah adalah kotoran, sama dengan darah haid. Sementara sebab Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—mengharamkan menyetubuhi wanita yang sedang haid adalah karena darah haid itu kotor. Sebagaimana disebutkan dalam firman–Nya (yang artinya): "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: 'Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di waktu haid…'" [QS. Al-Baqarah: 222]
Pendapat kedua: Membolehkan. Ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari kalangan shahabat dan tabi`in, serta para imam mazhab. Mereka menyandarkan pendapat ini kepada beberapa dalil. Di antaranya adalah:
- Darah istihâdhah dipastikan bukanlah darah haid. Sebagaimana sabda Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Itu (istihâdhah) hanyalah penyakit dan bukan darah haid." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]. Oleh karena itu, tidak diberlakukan hukum wanita haid kepada wanita yang mengalami istihâdhah.
- Resiko yang akan dialami oleh orang yang menggauli wanita haid tidak terjadi pada orang yang menggauli wanita yang sedang istihâdhah.
- Ibadah-ibadah memiliki nilai kemuliaan yang lebih besar daripada jimak (bersetubuh) dengan istri. Bila dalam kewajiban menjalankan ibadah, wanita yang istihâdhah disamakan dengan wanita suci, tentu dalam masalah jimak juga demikian.
- Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ummu Habibah dan Hamnah—Semoga Allah meridhai mereka berdua, bahwa mereka pernah mengalami istihâdhah pada masa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam. Tapi ketika itu, suami mereka masih tetap menyetubuhi mereka. Seandainya menyetubuhi wanita istihâdhah adalah dilarang, sudah pasti mereka mengetahui hukum itu, apalagi mereka adalah para shahabat Rasulullah yang terkemuka. Ummu Habibah merupakan istri dari Abdurrahman ibnu Auf. Sedangkan Hamnah merupakan istri Thalhah ibnu Ubaidillah. Kemudian sebagian besar hukum istihâdhah diriwayatkan dari dua orang shahabat wanita ini. Dan tidak pernah ada riwayat yang dinukilkan dari mereka tentang larangan menyetubuhi wanita yang sedang mengalami istihâdhah.
Pendapat kedua inilah yang lebih kuat, insyâallâh, karena dalil-dalilnya lebih kuat dan akurat. Oleh karena itu, banyak ulama yang berpendapat demikian.
Wallâhu a`lam.