Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Berobat dengan kay pada dasarnya adalah boleh, berdasarkan hadits-hadits yang berbicara tentang itu. Dalam sebuah hadits shahîh, Anas—Semoga Allah meridhainya—menceritakan bahwa ia pernah berobat dengan kaiy di bagaian pinggangnya di masa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—hidup. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga pernah mengobati Sa`ad ibnu Mu`âdz dengan kay, dan tidak sedikit para shahabat yang juga melakukannya.
Memang ada beberapa hadits yang menunjukkan kemakruhan dan larangan berobat dengan kay. Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhai mereka, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Kesembuhan ada pada tiga perkara: sayatan alat bekam, atau minuman madu, atau kay dengan api. Dan aku melarang umatku melakukan (pengobatan dengan) kay." [HR. Al-Bukhâri]
Dalam hadits lain yang diriwayatkan dari Jâbir—Semoga Allah meridhainya, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Saya tidak suka berobat dengan kay." [HR. Al-Bukhâri]
Hadits-hadits ini tidak menunjukkan keharaman kay selama orang yang melaksanakannya berkeyakinan bahwa kesembuhan itu ada di tangan Allah. Ada yang berpendapat bahwa kay dilarang karena mengakibatkan rasa sakit yang sangat besar. Ada juga yang berpendapat selain itu.
Al-Hâfizh Ibnu Hajar berkata, "Hukum yang bisa diambil dari penyatuan antara dalil yang larangan berobat dengan 'kay' dan dalil yang menunjukkan penggunaannya adalah bahwa 'kay' tidak ditinggalkan secara total, tetapi tetap dipergunakan ketika diperlukan."
Ia juga berkata, "Sedangkan sabda beliau: 'Aku tidak suka berobat dengan kay', ini termasuk ke dalam jenis ucapan beliau yang mengatakan bahwa beliau tidak memakan daging biawak, tetapi beliau membiarkannya ada dalam hidangan beliau, dan beliau meminta maaf karena beliau tidak menyukainya."
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata, "Hadits-hadits tentang 'kay' ada empat jenis. Pertama, yang menyatakan bahwa Rasulullah melakukannya; Kedua, bahwa beliau tidak menyukainya; Ketiga, bahwa beliau memuji orang yang meninggalkannya; Keempat, bahwa beliau melarang penggunaannya. Dan Alhamdulillâh tidak ada kontradiksi di antara semua itu. Perbuatan beliau menunjukkan kebolehan melakukannya. Ketidaksukaan beliau tidak menunjukkan bahwa itu dilarang. Pujian beliau terhadap orang yang meninggalkannya menunjukkan bahwa meninggalkannya lebih baik dan lebih utama. Adapun larangan beliau mengandung makna pilihan dan makruh, atau termasuk jenis yang tidak dibutuhkan tetapi dilakukan karena dikhawatirkan timbul penyakit."
Wallâhu a`lam.