Penolakan Batin terhadap Takdir adalah Terlarang

4-9-2024 | IslamWeb

Pertanyaan:

Assalamu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Mohon penjelasan, jika ada seseorang ditimpa cobaan dari Allah, dan ia tidak sabar menghadapinya. Artinya, hatinya menolak dan batinnya kesal terhadap takdir yang dihadapinya itu. Ia ingin merubah takdir itu dengan segala cara, namun ia tidak mampu. Apakah sikap seperti itu mendatangkan murka Allah? Ataukah Allah tetap memberinya pahala atas musibah yang menimpanya, terlepas apakah ia sabar atau tidak? Terima kasih, semoga Allah membalasi jasa Anda dengan kebaikan.
Wassalâmu`alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jawaban:

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Bersabar dan tidak mengeluh menghadapi ujian adalah hal yang diperintahkan dalam Agama. Seseorang mendapatkan pahala dari musibah yang dihadapinya sesuai dengan kadar kesabaran dan tawakalnya kepada Allah—`Azza wa Jalla. Karena cobaan merupakan proses pembersihan diri dan penyeleksian bagi seorang mukmin. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: 'Kami telah beriman', sedang mereka tidak diuji?" [QS. Al-`Ankabût: 2]

Oleh sebab itu, tidak boleh muncul dari seorang muslim sebuah perkataan atau perbuatan pun yang mencerminkan ketidakridhaannya terhadap ketetapan dan takdir Allah—Subhânahu wata`âlâ. Jika tidak, pelakunya berarti telah melakukan kedurhakaan tertinggi kepada Allah—Subhânahu wata`âlâ. Karena seluruh ketetapan Allah adalah kebaikan, keadilan, dan kebijaksanaan yang mesti diridhai oleh setiap manusia.

Jika keluhan itu muncul dari seseorang bukan lantaran ketidaksukaan terhadap takdir, Insyâallâh itu bukanlah suatu dosa. Ini sebagaimana yang terjadi pada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—dan 'Aisyah. 'Aisyah suatu ketika mengeluh karena sakit kepala, "Aduh kepalaku!" Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—ketika itu menimpali perkataan 'Aisyah dengan berkata, "Aku yang  seharusnya mengatakan, 'Aduh kepalaku'!"

Saat menjelaskan hadits ini, Al-Hâfizh Ibnu Hajar berkata, "Hadits ini mengandung pelajaran bahwa menyebutkan rasa sakit bukanlah sebuah bentuk keluhan terhadap takdir. Betapa banyak orang yang diam, namun hatinya penuh amarah, dan betapa banyak juga orang yang mengaduh, namun ia pada dasarnya ridha kepada apa yang ia alami. Yang menjadi patokan dalam hal ini adalah perasaan hati, bukan ucapan lidah."

Dengan penjelasan ini, kiranya jelaslah bagi penanya bahwa hati tidak boleh mengeluhkan ketetapan dan takdir Allah. Kalaupun ada pengecualian, itu mungkin bila keluhan itu hanya bisikan-bisikan Syetan yang tidak bisa ia tolak. Bila demikian halnya, maka pelakunya tidak akan disiksa oleh Allah, sesuai dengan sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku bisikan-bisikan jiwanya, selama ia belum melakukan atau mengatakannya." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Perlu juga dipahami, bahwa bukanlah termasuk sikap tidak ridha kepada takdir Allah bila kita berusaha mengubah cobaan itu dengan jalan yang sesuai Syariat, seperti seseorang yang ditimpa sakit, lalu ia pergi ke dokter untuk berobat atau melakukan ruqyah syar`iyyah.

Wallâhu a`lam

www.islamweb.net