Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia rasa cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa wanita-wanita, anak-anak, harta benda yang banyak dalam jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (Surga)." [QS. Âli `Imrân: 14]
Ungkapan "manusia" dalam ayat di atas merupakan ungkapan umum. Karena itu, ungkapan ini secara eksplisit mengindikasikan bahwa "rasa cinta terhadap apa yang diinginkan" terdapat dalam diri semua manusia, dan logika memang menunjukkan hal itu.
Allah menciptakan keindahan-keindahan yang diinginkan manusia itu untuk dinikmati, dengan dalil firman Allah (yang artinya): "Itulah kesenangan hidup di dunia." [QS. Âli `Imrân: 14]. Maksud cinta manusia terhadap hal-hal yang diinginkan itu adalah bahwa mereka berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan apa yang diinginkan itu, dan kemudian menikmatinya. Jika itu dilakukan melalui jalan yang dibenarkan oleh Agama dan dengan cara yang sah pula, maka manusia dalam hal ini terbagi kepada beberapa jenis:
Pertama: Manusia yang menolak memanfaatkan semua itu secara mutlak. Sikap seperti ini dicela dalam Syariat;
Kedua: Manusia yang tidak memiliki keinginan dan tujuan dalam hidupnya kecuali hanya mendapatkan hal-hal yang diinginkan itu. Sikap seperti ini juga tercela;
Ketiga: Manusia yang memanfaatkan apa yang diinginkannya itu bukan dalam rangka untuk secara khusus meraih suatu kepentingan di Akhirat. Sikap ini hukumnya mubah (dibolehkan);
Keempat: Manusia yang memanfaatkan semua hal yang diinginkan tersebut untuk perkara yang mengantarkan kepada kebaikan Akhirat. Sikap seperti ini adalah terpuji dan dituntut oleh Syariat.
Namun, jika hal-hal yang diinginkan itu diperoleh dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak dibenarkan oleh Syariat, maka hukumnya adalah haram. Tetapi terkadang di dalam diri manusia ada rasa cinta terhadap beberapa hal yang diharamkan, dalam arti ada kecenderungan kepadanya secara naluriah, namun ia tidak berusaha untuk mendapatkannya dan tidak pula menyukainya, maka dalam kondisi seperti ini, ia tidak mendapatkan dosa.
Karena siapa yang mencintai sesuatu dan ingin menjadi orang yang secara alamiah mencintai sesuatu itu, berarti ia telah mewujudkan kesempurnaan cinta. Jika cinta itu dituangkan dalam kebaikan, maka itu termasuk kebahagian yang sempurna. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—ketika menceritakan tentang Nabi Sulaiman—`Alaihissalâm—(yang artinya): "Sesungguhnya aku mencintai rasa cinta terhadap kebaikan." Artinya, aku mencintai kebaikan dan aku ingin menjadi orang yang mencintai kebaikan itu. tapi jika cinta seperti itu dituangkan kepada keburukan maka ia termasuk jenis kejahatan yang sangat besar. Misalnya seorang yang mencintai perbuatan zina dan berusaha maksimal untuk melakukannya, dan ia pun mencintai usahanya itu.
Dengan demikian, manusia harus meminimalisir cinta terhadap dunia dan hal-hal yang diinginkannya kecuali seukuran yang bermanfaat untuk keperluan Akhiratnya dan membantunya untuk berbuat taat kepada Allah. Karenanya, kita mendapati dalam ayat di atas, setelah Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menjelaskan bahwa dijadikan indah dalam pandangan manusia rasa cinta terhadap sesuatu yang diinginkannya, Allah kemudian menjelaskan bahwa semua itu akan sirna dan habis; wujudnya akan hilang, lalu yang tersisa adalah tanggung jawabnya. Setelah itu, Allah mendorong manusia untuk mencintai Akhirat, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya): "Katakanlah: 'Maukah aku kabarkan kepada kalian apa yang lebih baik daripada yang demikian itu?" [QS. Âli `Imrân: 15]. Kemudian Allah menerangkan kebaikan-kebaikan Akhirat yang didapatkan oleh orang-orang yang sabar dan para tokoh sejati yang rajin melakukan ibadah.
Wallâhu a`lam.