Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Saudara penanya, dalam kasus ini, Anda tidak terlepas dari dua kemungkinan:
Pertama, Anda menderita suatu penyakit yang membuat Anda boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhân.
Kedua, Anda tidak menderita penyakit tersebut.
Bila Anda menderita suatu penyakit yang membuat Anda boleh berbuka pada siang hari bulan Ramadhân maka tidak ada masalah bila Anda meminum obat dan menjimak istri Anda jika istri Anda juga sudah berbuka karena sebuah sebab yang mubah (boleh). Karena pada kondisi seperti ini, Anda tidak berada dalam status sebagai orang yang wajib berpuasa dan tidak boleh makan, minum, serta berhubungan suami istri (jimak) pada siang hari Ramadhan. Anda hanya wajib untuk meng-qadha puasa Anda, berdasarkan firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." [QS. Al-Baqarah: 185]
Tapi jika Anda berada dalam keadaan sehat, atau menderita penyakit ringan yang tidak membuat Anda boleh berbuka, maka Anda tidak boleh berniat untuk berbuka pada siang hari Ramadhân, tidak boleh meminum atau memakan obat, apalagi melakukan jimak dengan istri Anda. Apabila Anda menjimak istri Anda pada hari itu, setelah sebelumnya puasa Anda rusak dengan memasang niat tidak berpuasa serta meminum obat, maka Anda wajib membayar kafarat besar, karena Anda telah menodai kesucian siang hari Ramadhân dengan melakukan jimak itu. Kafaratnya adalah memerdekakan seorang budak. Jika Anda tidak mampu, bisa diganti dengan puasa dua bulan berturut-turut. Jika Anda tidak sanggup juga, bisa diganti dengan memberi makan enam puluh fakir miskin. Kafarat ini harus dilakukan secara berurutan (bukan pilihan), berdasarkan mazhab jumhur (mayoritas) ulama.
Adapun keinginan kuat untuk melakukan safar itu tidaklah bisa dijadikan alasan untukmemasang niat tidak berpuasa, menggunakan obat dengan cara yang merusak puasa Anda, atau menjimak istri Anda. Sebagaimana kenyataan bahwa Anda benar-benar berangkat melakukan perjalanan pada hari itu tidak dapat menggugurkan kewajiban kafarat yang penyebabnya sudah Anda lakukan sebelum benar-benar berangkat. Kafarat ini juga wajib bagi istri Anda, menurut sebagian ulama, jika ia melakukan jimak bukan atas dasar paksaan, serta tidak sedang berada dalam kondisi berhalangan, seperti hamil, menyusui, dan halangan-halangan lain yang membuatnya boleh berbuka. Selain itu, Anda berdua juga wajib meng-qadha puasa hari tersebut.
Wallâhu a`lam.