Hukum Membayarkan Uang sebagai Pengganti Makanan untuk Membayar Kafarat Keterlambatan Qadhâ'

1-4-2019 | IslamWeb

Pertanyaan:

Saya pernah membaca fatwa Anda mengenai keterlambatan qadhâ' puasa Ramadhân, bahwa keterlambatan qadhâ' mengharuskan pelakunya membayar kafarat berupa memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari keterlambatan itu, dalam kadar sekian gram makanan, dan mengeluarkan kafarat dalam bentuk uang tidak diperbolehkan sebagai pengganti memberi makan orang miskin itu. Pertanyaannya adalah: Pembayaran sejumlah uang untuk mengganti kafarat keterlambatan qadhâ' itu sudah dilakukan beberapa waktu yang lalu, dengan jumlah nominal yang melebihi batasan memberi makan orang miskin dalam satu hari, karena kami tidak tahu bahwa uang tidak boleh menggantikan makanan dalam hal ini. Apa hukumnya? Apakah dengan uang tersebut, kewajiban kafarat sudah dianggap gugur, ataukah harus tetap memberi makan orang miskin? Saya mohon pertanyaan ini dijawab langsung, dan tidak dialihkan ke fatwa lain.

Jawaban:

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Membayarkan kafarat ini dalam bentuk selain makanan tidak diperbolehkan menurut jumhur (mayoritas) ulama. Tetapi mazhab Hanafi dan yang sejalan dengannya berpendapat boleh, dengan alasan bahwa maksud dari kafarat itu adalah untuk memenuhi kebutuhan orang miskin, dan hal itu bisa terwujud dengan makanan dan juga dengan harga makanannya (uang), tanpa ada bedanya.

Sementara Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah memberikan hukum secara terperinci. Ia memperbolehkan membayar kafarat dengan harga makanan (berbentuk uang) jika ada kebutuhan dan kemaslahatan, dan melarang hal itu jika tidak ada kebutuhan dan kemaslahatan. Ia berkata, "Adapun membayarkan harga (uang) dalam zakat, kafarat, dan semisalnya, pendapat yang dikenal dalam mazhab Maliki dan Syafi`i adalah tidak boleh. Sementara menurut Abu Hanifah, itu adalah boleh. Sedangkan Imam Ahmad—Semoga Allah merahmatinya, pernah melarang itu pada beberapa tempat, dan membolehkannya di beberapa tempat yang lain. Di antara para pengikutnya ada yang menetapkan nas (yang tertulis secara tegas) sebagai pendapatnya, dan di antara mereka ada yang menjadikannya dua riwayat. Pendapat yang paling kuat adalah bahwa membayarkan harga (uang) tanpa ada kebutuhan dan kemaslahatan yang nyata adalah dilarang. Oleh karena itu, Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—menentukan Al-Jubrân (denda atas kekurangan zakat hewan dari kadar usia seharusnya) dengan dua domba atau dua puluh dirham, dan beliau tidak mengembalikan kepada nilai nominalnya (harga). Selain itu, apabila diperbolehkan membayar nilai nominal (harga) secara mutlak, maka pemilik harta bisa saja memilih jenis yang jelek (untuk ia bayarkan)." Sampai ia kemudian berkata, "Adapun membayarkan harga (uang) untuk kebutuhan, atau kemaslahatan, atau keadilan, adalah diperbolehkan."

Inilah perkataan para ahli Fikih secara global tentang hukum permasalahan ini. Kami menyarankan kepada saudari penanya dalam masalah ini agar melihat kondisi ketika ia membayarkan uang itu sebagai kafarat. Jika pembayaran uang itu lebih baik dan lebih berguna bagi fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka kemungkinan terkuat adalah bahwa pembayaran itu sudah menggugurkan kewajibannya, sesuai dengan perkataan Syaikhul Islâm di atas. Tetapi jika kondisinya adalah sebaliknya, maka yang lebih aman bagi saudari penanya adalah kembali mengeluarkan kafarat berupa makanan, karena itu lebih menjamin tertunaikannya kewajibannya. Sembari mengharap bahwa uang yang telah ia keluarkan itu mendapat pahala di sisi Allah, karena sesunggguhnya Allah tidak pernah menyia-nyiakan pahala amalan, Insyâ'allâh.

Wallâhu a`lam.

www.islamweb.net