Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Haji dan Umrah

"Jika kalian terkepung, maka sembelihlah kurban yang mudah didapat."

"Jika kalian terkepung, maka sembelihlah kurban yang mudah didapat."

Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat." [QS. Al-Baqarah: 196]

Ayat yang mulia ini bersambung dengan permulaan ayat (yang artinya): "Dan sempurnakanlah haji dan umrah itu karena Allah." [QS. Al-Baqarah: 196]. Setelah memerintahkan untuk menyempurnakan haji dan umrah, Allah langsung menerangkan hukum beberapa hal yang menghalangi sempurnanya pelaksanaan ibadah haji dan umrah tersebut. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat."

Arti kata ihshâr (terkepung) secara bahasa adalah: semua bentuk kondisi terhalang. Contohnya penggunaan kata ini terdapat dalam firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Bagi mereka (orang-orang fakir) yang 'uhshirû' (terhalangi) dari jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi." [QS. Al-Baqarah: 273]. Makna ayat ini adalah: Bagi kaum fakir miskin yang terhalangi untuk keluar berjihad di jalan Allah karena kemiskinan mereka.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah terhalangnya seorang yang berihram; apakah keterhalangan ini hanyalah keterhalangan karena adanya musuh saja sehingga seorang yang berihram tidak boleh keluar dari ihramnya kecuali jika dihalangi oleh musuh saja, ataukah keterhalangan ini mencakup segala yang dapat menghalangi kesempurnaan pelaksanaan haji/umrah, baik berbentuk musuh atau pun yang lainnya? Dalam hal ini mereka terbagi ke dalam dua pendapat:

Pertama, mereka yang berpendapat bahwa keterhalangan ini hanyalah oleh musuh. Adapun orang yang tertimpa penyakit, atau kehilangan perbekalan, atau tersesat jalan, tidaklah dianggap masuk dalam kategori terhalang/terkepung. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar—Semoga Allah meridhai mereka berdua, Az-Zuhri, dan ulama–ulama lain—Semoga Allah merahmati mereka.

Kedua, mereka yang berpendapat bahwa keterhalangan ini lebih umum daripada sekedar terhalang oleh musuh. Di dalamnya termasuk kondisi terkepung oleh segala hal yang dapat mencegah seorang yang berihram untuk menyempurnakan ibadah haji/umrahnya. Mereka yang berpendapt seperti ini menguatkan pendapat mereka dengan dalil yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitabnya Al-Musnad, dari Al-Hajjâj ibnu `Amr Al-Anshâri, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—bersabda, 'Barang siapa yang mengalami patah, atau sakit, atau pincang, berarti ia telah (boleh) bertahallul dan ia harus menunaikan haji yang lain'. Lalu aku menanyakan hal ini kepada Ibnu Abbas dan Abu Hurairah. Mereka berdua menjawab, 'Benar'." [HR. Ahmad, At-Tirmidzi, Abu Dâwûd, An-Nasâ'i, dan Ibnu Mâjah]. Imam Ats-Tsauri berkata, "Keterhalangan bisa terjadi karena segala sesuatu yang membahayakan seseorang, seperti musuh atau yang lainnya."

Adapun maksud dari kata "yang mudah didapat" dalam firman Allah (yang artinya): ". maka (sembelihlah) kurban yang mudah didapat." [QS. Al-Baqarah: 196] adalah apa yang mungkin dilakukan. Maksud kata "hady (hewan kurban)" adalah unta, sapi, kambing, atau kibas. Pendapat mayoritas ulama adalah bahwa diwajibkan menyembelih satu ekor kambing bagi siapa saja yang terhalang/terkepung sehingga tidak dapat menyelesaikan haji/umrahnya. Dan boleh bergabung tujuh orang dalam satu ekor unta atau sapi. Ini adalah pendapat imam mazhab yang empat—Semoga Allah merahmati mereka.

Alasannya adalah bahwa tujuan menyembelih kurban dalam kondisi terhalang/terkepung adalah mewujudkan sebagian maslahat ibadah haji sesuai kemampuan. Jika rangkaian ibadah haji tidak dapat disempurnakan (sampai selesai) karena adanya halangan, maka paling tidak, rezki yang akan diberikan kepada kaum fakir miskin Mekah dan sekitarnya tidak ikut terhalangi.

Selanjutnya adalah firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Dan janganlah kalian mencukur rambut kepala kalian sebelum (hewan) kurban sampai di tempat penyembelihannya." [QS. Al-Baqarah: 196]

Firman Allah ini juga bersambung dengan awal ayat di atas (yang artinya): "Dan sempurnakanlah Haji dan Umrah itu karena Allah." Bukan dikaitkan dengan firman-Nya (yang artinya): "Jika kalian terkepung." Makna ayat ini adalah bahwa tidak dihalalkan bagi orang yang berihram dan masuk ke dalam ibadah haji atau umrah untuk mencukur rambut sampai ia selesai menjalankan amalan-amalan ibadah haji dan umrah tersebut.

Kemudian firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur)." [QS. Al-Baqarah: 196]. Yang dimaksud dengan sakit dalam ayat ini adalah penyakit yang mengharuskan untuk mencukur rambut kepala, baik itu penyakit di badan maupun di kepala.

Kata-kata "Atau ada penyakit di kepalanya" adalah ungkapan yang menunjukkan adanya kotoran yang sangat berat di kepala dan banyaknya kutu sehingga menyakiti kepala. Sebuah hadits diriwayatkan dari Ka`ab ibnu `Ujrah—Semoga Allah meridhainya—ia berkata, "(Suatu ketika saat melaksanakan ibadah haji) aku dibawa kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wa sallam—dengan kondisi kutu bertebaran di wajahku. Lalu beliau bersabda, 'Aku tidak pernah melihat kesukaran seperti yang engkau alami ini, apakah engkau memiliki kambing?' Aku menjawab, 'Tidak'. Kemudian beliau bersabda, 'Berpuasalah tiga hari, atau beri makan enam orang fakir miskin, setiap orang setengah shâ' makanan, dan cukurlah rambutmu'. Lalu turunlah ayat ini khusus untukku, namun (hukumnya) umum bagi kalian semua." [HR. Al-Bukhâri]

Di antara keunikan Al-Quran adalah tidak menyebutkan secara terbuka lafaz yang tidak pantas disebutkan. Hal ini sangat jelas dalam kata-kata "adzâ (gangguan)" pada ayat di atas. Kata ini adalah kinâyah (kiasan) untuk sesuatu yang menyakiti kepala seorang yang sedang berihram, seperti kutu dan sebagainya.

Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya (yang artinya): ". maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban." [QS. Al-Baqarah: 196]. Dalam ayat yang mulia ini Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menyebutkan hukuman (kewajiban) yang harus dilaksanakan karena seorang yang berihram mencukur rambutnya sebelum menyelesaikan rangkaian ibadah haji. Allah menjadikan hukuman ini berbentuk pilihan, karena kata "aw (atau)" menurut para ahli bahasa mengandung makna pilihan terhadap dua perkara atau lebih. Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas—Semoga Allah meridhainya—pernah berkata, "Jika terdapat kata 'aw (atau)', berarti apapun yang engkau ambil adalah dibenarkan." Riwayat dari Ibnu Abbas inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. Mereka berkata, "Orang yang beriham diberikan pilihan dalam masalah ini, ia boleh berpuasa, atau menyembelih kambing, atau memberi makan orang miskin. Manapun yang dilakukan adalah dibenarkan."

Hadits yang diriwayatkan dari Ka`ab ibnu `Ujrah—Semoga Allah meridhainya—di atas telah menjelaskan keterangan jumlah puasa dan makanan itu. Boleh berpuasa tiga hari, atau memberi makan enam orang fakir miskin masing-masing setengah sha`, atau menyembelih kambing. Fidyah ini diistilahkan oleh para ulama dengan nama Fidyatul Adzâ.

Semoga Allah senantiasa memberikan taufik dan kemudahan kepada kita.

 

 

Artikel Terkait

Keutamaan Haji