Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Petunjuk Sempurna

Prinsip-prinsip Tarbiyah (Pendidikan) di Dalam Al-Quran

Prinsip-prinsip Tarbiyah (Pendidikan) di Dalam Al-Quran

Di dalam Al-Quran, terdapat banyak ayat yang mengandung pelajaran-pelajaran berharga untuk mendidik dan menyucikan jiwa kita, sekaligus obat bagi berbagai permasalahan yang kita hadapi. Pelajaran-pelajaran itu membantu kita mengetahui dan mengamalkan adab-adab islami dalam semua perkara hidup. Dalam tulisan ini, kita akan sebutkan beberapa contoh dari ayat-ayat tersebut, yang kadang kita baca tetapi tanpa memperhatikan makna dan nilai-nilai tarbiyah (pendidikan) yang ada di dalamnya. Tetapi dengan berusaha mencermati ayat-ayat itu, kita akan mampu menyingkap apa yang selama ini tersembunyi dan mungkin kita lalaikan. Di antara ayat tersebut adalah:

1.    Firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—di awal surat Al-Anfâl (yang artinya): "Mereka bertanya kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, 'Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian adalah orang-orang yang beriman." [QS. Al-Anfâl: 1]

Kita sering berselisih dalam banyak permasalahan. Bahkan mungkin dalam masalah Agama. Perselisihan itu terus berkembang, sehingga etika kita dalam berselisih pun kadang menjadi tidak terpuji. Kita lupa bahwa berselisih dan beretika buruk itu lebih berbahaya dalam pandangan Allah daripada perkara yang kita perselisihkan. Terkadang ada orang lain yang ikut campur untuk menyelesaikan perselisihan itu, tapi ambisi masing-masing hanya untuk memenangkan pendapat satu pihak. Hampir tidak ada orang yang secara bijak berkata kepada semua pihak, "Sesungguhnya hilangnya kasih sayang, ternodainya persaudaraan, dan rusaknya hubungan antar sesama adalah lebih berbahaya daripada apa yang kalian perselisihkan."

Anda hampir tidak menemukan ada seseorang yang bisa membawa manusia dari perselisihan yang kecil kepada permasalahan yang lebih penting dan prinsipil. Al-Quran yang mulia mengajarkan kepada kita menjadi orang yang bijak itu. Yaitu orang yang mengetahui pintu masuk yang benar untuk memberikan arahan. Sesungguhnya di dalam Islam ada prinsip-prinsip utama yang tidak bisa digantikan oleh apa pun, termasuk oleh perkara-perkara yang diperselisihkan. Bertakwa kepada Allah, berlemah lembut, dan berhubungan baik merupakan bagian dari prinsip-prinsip agung itu. Nilai-nilai itu lebih penting dari sekedar masalah membagi harta rampasan perang dengan cara apa pun. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Katakanlah, 'Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian." [QS. Al-Anfâl: 1]

Jadi, di sini, Al-Quran mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya arahan dan didikan yang harus diberikan, dan dari pintu masuk yang mana kita harus menyelesaikan berbagai permasalahan hidup kita. Itu diterangkan oleh Al-Quran ketika mengatasi masalah perselisihan umat Islam dalam membagi harta rampasan perang setelah perang Badar. Perselisihan mereka bukan disebabkan ketamakan terhadap dunia, tetapi karena keterkaitan harta rampasan perang pada waktu itu dengan bakti yang dipersembahkan di dalam peperangan. Harta rampasan perang pada waktu itu adalah bukti sejauh mana bakti yang diberikan oleh seorang prajurit di medan laga. Waktu itu, semua orang sangat menginginkan bukti (pengakuan) yang langsung turun dari Allah dan Rasul-Nya—Shallallâhu `alaihi wasallam—itu, terutama karena perang Badar adalah peperangan pertama yang mementaskan kemenangan besar Umat Islam atas orang-orang musyrik. Dan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—secara langsung juga memotivasi mereka untuk memberikan bakti perjuangan terbaik dalam perang itu. Beliau memberitahu bahwa jatah rampasan perang tergantung kepada sebesar apa perjuangan yang dikerahkan dalam perang itu. Sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan di dalam kitab-kitab Sunan, dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Ketika perang Badar, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Siapa yang melakukan ini dan itu, maka ia akan mendapatkan ini dan itu'."

Semangat mereka untuk mendapatkan jatah dari harta rampasan perang bukan karena nafsu duniawi. Tetapi karena apa yang akan diberikan kepada mereka merupakan kesaksian dan penghargaan dari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—untuk mereka. Itulah yang menyebabkan masing-masing mereka begitu antusias menunggu pembagian harta rampasan itu. Tetapi Al-Quran mengajarkan kepada mereka, bahwa sekalipun masalahnya seperti itu, namun persaudaraan dan adab di antara mereka tetap tidak layak untuk dikorbankan karenanya.

Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Umâmah—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Aku bertanya kepada `Ubâdah tentang ayat surat Al-Anfâl. Ia menjawab, 'Ayat ini turun mengenai masalah kami para prajurit perang Badar, yaitu ketika kami berselisih tentang harta rampasan perang, dan etika kami menjadi tidak terpuji ketika itu. Sehingga Allah kemudian mencabutnya dari tangan kami dan menyerahkannya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, lalu Rasulullah membaginya di antara umat Islam dengan sama (dengan merata)." [HR. Ahmad dan yang lainnya]

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari `Ubâdah ibnus Shâmit, ia berkata, "Kami berangkat bersama Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, lalu aku ikut serta dalam perang Badar bersama beliau. Kemudian pasukan kami bertemu dengan musuh, dan Allah pun mengalahkan musuh itu. Lalu sekelompok pasukan mengejar musuh untuk mengalahkan dan membunuh mereka. Kelompok yang lain memungut dan mengumpulkan harta rampasan. Dan kelompok yang lain mengelilingi Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—sehingga tidak ada celah yang bisa diserang oleh musuh. Sampai ketika malam hari dan pasukan kembali berkumpul, orang-orang yang mengumpulkan harta rampasan berkata, 'Kami telah mengumpulkan harta itu, sehingga tidak ada bagian untuk selain kami'. Lalu orang-orang yang keluar mengejar musuh berkata, 'Kalian tidak lebih berhak daripada kami. Kami telah menahan musuh dan mengalahkan mereka'. Orang-orang yang mengelilingi Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—berkata, 'Kami khawatir musuh bisa menyerang beliau dari satu celah, sehingga kami sibuk melindungi beliau'. Lalu turunlah ayat (yang artinya): 'Mereka bertanya kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, 'Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesama kalian'. [QS. Al-Anfâl: 1]." [HR. Ahmad]

Dengan ayat ini, Allah seakan mengatakan kepada mereka, tinggalkanlah masalah pembagian harta itu, biarkan semua itu untuk Allah dan Rasul-Nya, dan menghadaplah kepada hal yang lebih penting dari semua itu: ".bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian."

Oleh sebab itu, wahai saudaraku, apabila suatu hari Anda ditakdirkan berada di tengah orang-orang yang berselisih, jangan sampai perhatian Anda ikut larut bersama mereka dalam berselisih untuk menguatkan pendapat tertentu. Boleh jadi, dalam perselisihan itu ada hal yang jauh lebih gawat dari kasus yang mereka perdebatkan, seperti etika yang tidak terpuji dalam berdebat, perpecahan, permusuhan, dan lain-lain. Ketika itu, jangan Anda sungkan untuk mulai memperbaiki masalah utama yang menyimpang itu sebelum masalah-masalah cabangnya. Mungkin saja ada dua orang berdebat, lalu masing-masing melontarkan ucapan yang melanggar adab-adab islami. Kesalahan-kesalahan seperti itu jangan sampai Anda abaikan. Jangan Anda langsung ikut berdebat dan masuk ke dalam inti perdebatan. Tetapi tenangkanlah mereka terlebih dahulu, dan ajarkan kepada mereka bagaimana cara berdebat, bagaimana cara menjaga adab islami, dan bagaimana memelihara persaudaraan, sebelum Anda menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.

Jadilah orang yang mereguk petunjuk Qurani. Alangkah luar biasanya Kitab mulia ini mendidik jiwa manusia. Alangkah indahnya cara Kitab ini mengatasi berbagai permasalahan. Seungguh benar firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—(yang artinya): "Sesungguhnya Al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus." [QS. Al-Isrâ': 9]

2.    Firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dalam surat At-Taubah (yang artinya): "Allah telah memaafkanmu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang jujur (dalam alasannya) dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?" [QS. At-Taubah: 43]

Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang berkata, "Minta izinlah kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—(untuk tidak ikut perang). Jika beliau mengizinkan kalian, tetaplah di rumah kalian (tidak ikut perang). Dan jika beliau tidak mengizinkan kalian, juga tetaplah di rumah kalian." Oleh sebab itu, Allah berfirman kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—(yang artinya): "Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang jujur (dalam alasannya), dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?"

Ibnu Katsir—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Mengapa engkau tidak berpaling dari mereka ketika mereka meminta izin kepadamu. Seharusnya engkau tidak mengizin seorang pun di antara mereka untuk tidak berperang, sampai engkau mengetahui mana orang yang jujur memperlihatkan ketaatan kepadamu, dan mana orang yang berdusta. Sesungguhnya mereka telah bersikeras untuk tidak ikut berperang, sekalipun engkau tidak mengizinkan mereka." [Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 2/345]

Dari ayat yang mulia ini kita dapat mengambil dua konsep tarbiyah yang penting:

Pertama, pentingnya menyeleksi para pengikut (kader) melalui sarana-sarana yang riil. Ayat ini menjelaskan pentingnya menguji kejujuran dan ketaatan para kader, serta tidak tertipu oleh ucapan indah semata, atau oleh semangat yang belum diterjemahkan ke dalam realita. Ini memberikan sebuah ajaran penting kepada para murabbi (pendidik) dan pemimpin agar benar-benar mengenal siapa orang yang tulus bersamanya secara nyata dan ril, dan siapa yang hanya bersamanya dengan ucapan dan klaim belaka.

Di samping untuk para pemimpin, ayat ini juga memberikan pelajaran kepada para pengikut (kader), karena membuat mereka merasa tidak nyaman di depan diri mereka, sehingga mau berpikir ulang. Dengan demikian, barangkali mereka mau bertobat dan jujur. Atau minimal memutus jalan mereka, sehingga tidak terus bersandiwara, tidak lagi mengeluarkan pengakuan-pengakuan yang tidak jujur, serta tidak lagi menipu orang-orang yang bekerja secara ikhlas dengan kata-kata yang manis. Ketika berhadapan dengan kondisi sulit, ketika itu terlihatlah borok sesungguhnya, dan saat itu mereka baru merasa terpukul.

Al-Hasan—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, "Pandanglah manusia dengan perbuatan mereka, dan abaikanlah perkataan mereka. Sesungguhnya Allah tidak membiarkan suatu perkataan kecuali akan menciptakan suatu bukti perbuatan yang membenarkan perkataan itu. Apabila engkau mendengar suatu perkataan yang baik, janganlah cepat (menilai) orangnya. Jika ucapannya sesuai dengan perbuatannya, barulah bisa dikatakan sebagai sesuatu yang baik dan mulia."

Dalam konteks ini, juga terdapat arahan-arahan senada dari Allah. Di antaranya adalah melalui firman-Nya (yang artinya):

·         "Dan mereka bersumpah dengan nama Allah sekuat-kuat sumpah, jika engkau suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah, 'Janganlah kalian bersumpah, (karena ketaatan yang diminta adalah) ketaatan yang sudah dikenal'. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan." [QS. An-Nûr: 53]

·         "Dan mereka (orang-orang munafik) mengatakan, '(Kewajiban kami hanyalah) taat'. Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebahagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah menulis siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah engkau dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung." [QS. An-Nisâ': 81]

Kedua, ayat di atas juga mengajarkan kepada kita salah satu cara menegur para kekasih yang ikhlas apabila mereka bersalah, yaitu dengan cara mendahulukan maaf sebelum menegur. Hal itu terlihat dalam firman Allah kepada Rasul dan kekasih-Nya, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam ayat tersebut (yang artinya): "Allah telah memaafkanmu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka."

Diriwayatkan dari `Aun—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Apakah kalian pernah mendengar teguran yang lebih indah dari ini? Sebuah panggilan dengan kata maaf sebelum menegur. Allah berfirman (yang artinya): 'Allah telah memaafkanmu, mengapa engkau memberi izin kepada mereka'."

Dari sini kita belajar sebuah adab dalam menegur para kekasih yang ikhlas, dengan tidak menjadikannya sebagai sebuah teguran yang kering. Tetapi kita mulai dengan sesuatu yang menguatkan rasa cinta dan sayang. Bahkan tidak ada salahnya menggunakan sedikit pujian dengan jujur atas sisi-sisi baik orang yang ditegur. Ini semua termasuk ke dalam kategori teguran yang baik.

Ibnu Hazm pernah berkata, "Ada dua kondisi yang di situ dipandang baik melakukan sesuatu yang dianggap tercela pada kondisi-kondisi lain. Dua kondisi itu adalah: menegur dan meminta maaf. Dalam dua kondisi ini, dipandang baik menyebut jasa-jasa dan kebaikan. Namun di luar dua kondisi itu, menyebut jasa dan kebaikan sangatlah tercela. Karena ia berubah menjadi keinginan memuji diri sendiri."

3.    Firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—di dalam surat An-Nisâ' (yang artinya): "Dan jika kalian sakit atau sedang dalam perjalanan, atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air, atau kalian telah menyentuh perempuan, kemudian kalian tidak mendapat air, maka bertayamumlah kalian dengan tanah yang baik (suci)." [QS. An-Nisâ': 43]

Ayat yang mulia ini mengajarkan kepada kita bahasa yang baik, lisan yang terjaga, dan sopan dalam bertutur kata. Kita melihat di dalam ayat ini Allah—`Azza wajalla—menyebut 'buang air besar' dengan menggunakan bahasa 'tempat buang air besar'. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—mengkiaskan kegiatan buang air dengan ungkapan ini tanpa menyebut kosakata buang air besar secara langsung. Allah hanya mengatakan 'kembali dari tempat buang air', sebagai kiasan dari apa yang terjadi di dalamnya. Sekalipun demikian, Allah juga tidak menyandarkan perbuatan itu langsung kepada lawan bicara. Allah tidak mengatakan, "Atau kalian datang dari tempat buang air besar." Tetapi Allah mengatakan, "Atau salah seorang di antara kalian datang dari tempat buang air besar." Ini tentu semakin menambah kehalusan adab berbicara dan indahnya bahasa kiasan, agar menjadi contoh bagi manusia ketika berbicara.

Selain itu, kita juga melihat sebuah adab lain yang begitu tinggi dimiliki oleh bahasa Al-Quran ini, dan itu tidak bisa kita temukan dalam bahasa mana pun. Yaitu ketika Al-Quran mengungkapkan apa yang terjadi antara pasangan suami istri dengan ungkapan: "Atau kalian telah menyentuh perempuan."

Seperti diketahui, kosakata jimâ' (hubungan badan suami istri) tidak pernah muncul satu kali pun di dalam Al-Quran. Ungkapan dengan kata 'menyentuh' terkesan lebih halus, lebih sopan, dan lebih beradab. Menyentuh bisa jadi berarti pendahuluan dari aktivitas jimâ', atau bisa juga berarti aktivitas jimâ' itu sendiri. Apapun maksudnya, sesungguhnya ini adalah sebuah adab yang dicontohkan oleh Allah kepada manusia dalam berbicara tentang masalah-masalah seperti ini, selama tidak ada tuntutan untuk mengungkapkannya secara terbuka.

Demikianlah sedikit dari sisi adab dan nilai-nilai tarbiyah (pendidikan) yang begitu banyak terkandung di dalam kitab Allah yang mulia. Kita berdoa semoga Allah memberi manfaat kepada kita melalui adab-adab yang diajarkan-Nya itu.

Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan seluruh shahabat beliau.

 

 

Artikel Terkait

Keutamaan Haji