Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Artikel

Sekoci Keselamatan

Sekoci Keselamatan

Kehidupan seorang Mukmin adalah pertarungan antara kebenaran dan kebatilan, antara hidayah dan kesesatan. Jika ia mematuhi Syetan dan hawa nafsunya maka ia akan terlempar ke dalam jurang kebinasaan dan kerugian, dan jika ia mengikuti seruan kebenaran dan hidayah maka ia akan naik menanjak ke derajat yang paling tinggi. Allah telah menyiapkan bagi seorang Mukmin sekoci-sekoci keselamatan dari jurang kebinasaan. Jika ia mau menumpanginya maka sekoci itu akan menyandarkannya ke pesisir keamanan dan menyelamatkannya dari kesengsaraan dan kehancuran.

Berikut ini adalah beberapa sekoci keselamatan yang telah Allah siapkan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman:

  1. Skoci Makrifatullah (Mengenal Allah)

Makrifatullah adalah skoci keselamatan dari seluruh kesesatan dan penyimpangan. Seorang yang mengenal Allah akan mengetahui jalan menuju seluruh kebaikan, dan dengan demikian ia akan menghindari seluruh sebab kejatuhan ke dalam jurang keburukan.

Makrifatullah adalah jalan pertama bagi para pesalik, jalan bagi mereka yang mencari hidayah, pelindung dari segala keburukan dan keamanan dari segala penyimpangan. Namun mengenal Allah akan terwujud, akan semakin meningkat dan mendalam hanya dengan meningkatkan perenungan terhadap ciptaan-Nya, memahami ciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, karunia-Nya, ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan)-Nya yang sangat nyata, baik yang telah maupun yang akan terjadi. 

Mukmin sejati adalah seorang yang sangat paham akan kedudukan dan kemuliaan Allah. Ia mengenal-Nya dengan baik, mengetahui jalan untuk sampai kepada-Nya, senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, mengetahui apa saja yang Dia sukai dan Dia benci, mengetahui segala yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan menjauhkannya dari-Nya. Ia mengetahui semua itu dengan baik, bukan sekedar sebagai pengetahuan belaka, melainkan pengetahuan untuk berkomitmen, untuk membersihkan dan menyucikan jiwa, serta meninggikannya hingga sampai pada derajat rabbâni. “Tetapi (ia berkata): ‘Hendaklah kalian menjadi manusia-manusia rabbani [sempurna ilmu dan taqwanya kepada Allah], karena kalian selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kalian tetap mempelajarinya.” [QS. Ali `ImrAn: 79].

  1. Sekoci Ibadah Menyembah Allah

Ibadah ialah sekoci keselamatan dari tenggelam di lautan kesesatan, jalan selamat dari kerusakan dan penyimpangan. Menjalankan ibadah dengan ihsân, konsisten di atasnya dan memaksimalkan kuantitasnya, semua itu akan menjaga hubungan baik hamba dengan Allah, serta memperbaiki dan melanggengkan hubungan tersebut.

Seorang yang selalu terhubung dengan Allah senantiasa berada dalam bantuan, pertolongan dan perlindungan-Nya. Perumpamaan orang yang senantiasa terhubung dengan Allah adalah seperti pesawat yang selalu mendapat petunjuk penerbangan dari menara pengawas. Jika hubungan tersebut terputus maka pesawat tersebut akan tersesat, melenceng dari jalur terbangnya dan terancam menghadapi berbagai bahaya dan kecelakaan. Atau seperti kapal laut yang selalu tersambung dengan pusat pengawasan di pelabuhan. Jika hubungan ini terputus maka ia akan tersesat di tengah samudra dan tenggelam dihantam badai dan gelombang.

Oleh karenanya, di antara karunia dan kemurahan Allah terhadap makhluk-Nya adalah Dia mengatur dan mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam sehari-semalam untuk menguatkan jalinan hubungan tersebut yang akan menjaga mereka di sela-sela waktu shalat-shalat itu supaya tidak tersesat. Allah juga menganjurkan mereka agar mengoptimlakan keterhubungan ini dengan shalat-shalat tambahan di malam hari, juga ibadah-ibadah lainnya, baik puasa dan haji.

Hal ini dijelaskan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya  may  Allaah  exalt  his  mention: “Barang siapa memusuhi wali-Ku maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tiada hal yang dilakukan hamba-Ku untuk mendekatkan diri pada-Ku yang lebih Aku cintai daripada ia melaksanakan hal-hal yang telah Aku wajibkan atasnya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnat hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya maka Aku menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat, Aku menjadi pendengarannya yang denganya ia mendengar, Aku menjadi tangannya yang dengannya ia memegang, Aku menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku akan melindunginya.” [HR. Al-Bukhari].

  1. Sekoci Cinta Allah dan Rasul-Nya

Mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah sekoci keselamatan dari tenggelam di dalam cinta dunia, keselamatan dari kebergantungan pada kendali dunia dan menjilat di belakang nikmat dan syahwatnya. Seorang yang hatinya senantiasa bergantung kepada Allah tidak akan dikuasai oleh cinta apapun selain cinta kepada-Nya. Jikapun ia mencintai sesuatu yang lain maka ia mencintai karena Allah, baik itu cintanya kepada saudara, istri, anak, atau siapapun juga. Maka di antara doa Rasulullah  may  Allaah  exalt  his  mention ialah: “Ya Allah, aku memohon cinta (terhadap)-Mu, cinta (terhadap) orang yang mencintai-Mu dan cinta terhadap amal yang mendekatkanku pada cinta-Mu.”

Keniscayaan cinta seorang manusia terhadap Tuhan-Nya ialah kesibukan diri dengan-Nya, kenikmatan diri dalam beribadah kepada-Nya dan kerinduan untuk selalu bermunajat kepada-Nya. Demikian halnya cintanya kepada Rasulullah  may  Allaah  exalt  his  mention. Cinta ini akan selalu mendorongnya melaksanakan sunhah-sunnah beliau dengan sebaik-baiknya, mendorongnya untuk komitmen melaksanakan ajaran beliau, hidup bersama beliau dalam kesusahan dan kemudahan, dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Cinta ini senantiasa mendorongnya untuk mengikuti sunnah beliau dalam rangka menjalankan firman Allah (yang artinya): “Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan ia banyak menyebut Allah.” [QS. Al-Ahzab: 21].

Sungguh, kecintaan terhadap Rasulullah  may  Allaah  exalt  his  mention harus ada dalam diri seorang Mukmin, cinta yang lebih kuat daripada cinta terhadap keluarga, anak dan manusia seluruhnya. Mahabenar Allah dengan firman-Nya (yang artinya): “Katakanlah: ‘Jika ayah-ayah, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, sanak keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kalian sukai, adalah lebih kalian cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” [QS. At-Taubah: 24].

Makna mencintai Allah dan Rasul-Nya ialah: Mengedepankan kehendak Allah atas kehendak diri sendiri, mengedepankan ketaatan pada Rasulullah atas ketaatan terhadap hawa nafsu dan Syetan. Dengan demikian seorang Mukmin memaksa kehendak dan nafsunya agar sejalan dengan ajaran-ajaran Islam. Ia juga mencintai ajaran-ajaran Islam lebih daripada cintanya terhadap diri dan kehendak nafsunya. Dengan demikianlah iman yang shahih itu akan terealisasi.

  1. Sekoci Khauf (Rasa Takut) Pada Allah

Takut pada Allah adalah sekoci keselamatan dari tenggelam di lautan kegentaran, ketakutan, maksiat dan dosa-dosa. Teladan pertama kita, Muhammad  may  Allaah  exalt  his  mention bersabda: “Akulah yang paling takut di antara kalian kepada Allah.” [HR. Al-Bukhari]. Beliau juga bersabda: “Dami Allah, sungguh akulah yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertaqwa kepada-Nya.” [HR. Al-Bukhâri].

Seorang yang takut pada Allah akan selalu menjaga diri dari murka-Nya, takut terhadap azab-Nya, khawatir jatuh dalam perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Allah akan melemparkan ke dalam hati orang yang takut pada-Nya keberanian dan kemuliaan diri sehingga ia tidak akan gentar ketika menghadapi musuh, tidak takut berhadapan dengan penguasa zalim, tidak malu melantangkan kebenaran. Orang yang takut pada Allah senantiasa merasa diawasi oleh Allah, selalu berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam kelalaian di sisi-Nya, dan ia senantiasa merasa tidak aman dari azab-Nya: “Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” [QS. Al-A`raf: 99].

Kuatnya rasa takut Rasulullah pada Allah mendorong beliau bersabda: “Kalaulah kalian mengetahui apa yang aku ketahui niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” [HR. Al-Bukhâri dan Muslim].

Diriwayatkan bahwa `Umar Ibnul Khaththab  may  Allaah  be  pleased  with  them pernah jatuh pingsan lantaran mendengar suatu ayat Al-Quran.

Ibnu `Abbas  may  Allaah  be  pleased  with  them pernah ditanya tentang kondisi orang yang takut pada Allah. Beliau menjawab: “Hati mereka bergetar oleh rasa takut, mata mereka selalu menangis. Mereka berkata: ‘Bagaimana kita bisa bersenang-senang sementara kematian berada di belakang kita, kubur di hadapan kita, Hari Kiamat telah dijanjikan pada kita, di atas Neraka Jahannam kita berjalan, dan di hadapan Allah kita akan berdiri (dihisab)?!”

  1. Sekoci Muraqabatullah.

Muraqabatullah (merasakan pengawasan Allah) adalah sekoci keselamatan dari jatuh di dalam kesalahan, kesesatan dan penyimpangan. Sekoci ini akan menjadikan seorang Muslim senantiasa khusyuk, selalu memohon petunjuk kepada Allah, tidak kepada hawa nafsunya.

Muraqabatullah menjadikan seorang Mukmin sadar akan mata Tuhan yang selalu mengawasi segala kondisi dan gerak-geriknya, segala perkataan dan perbuataanya, bahkan segala bisikan hati dan perasaannya. Muraqabatullah akan menghadirkan (di dalam hati) keagungan Allah yang tiada tersembunyi dari ilmu-Nya sesuatu apapun. “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang melainkan Dia lah keempatnya, dan tiada (pembicaraan antara) lima orang melainkan Dia lah keenamnya, dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada Hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sungguh Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” [QS. Al-Mujadalah: 7].

Sungguh, pengawasan Allah terhadap segala sesuatu saja merupakan perkara yang sangat besar, apalagi dengan adanya perhitungan yang jelinya tiada tara, dan setelah itu peradilan dan pembalasan atas seluruh perbuatan?!

Ketahuilah wahai saudaraku bahwa perkara itu ada tiga:

Pertama: Perkara yang telah jelas kebenarannya, maka ikutilah!

Kedua: Perkara yang telah jelas kesesatannya, maka jauhilah!

Ketiga: Perkara yang belum jelas bagimu hukumnya, maka tanyakanlah!

Kesadaran akan pengawasan Allah ini akan semakin kuat dan dalam di dalam jiwa dengan meningkatnya rasa kedekatan seseroang kepada Allah. “Apakah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” [QS. Az-Zukhruf: 80].

  1. Sekoci Ikhlas Karena Allah

Ikhlas adalah sekoci keselamatan dari tenggelam di dalam lautan kemunafikan, syirik, riyâ’, pamer dan melakukan pebuatan-perbuatan merusak.

Seorang Mukmin dalam seluruh amal dan aktivitasnya, dalam semua tulisan dan pidato-pidatonya, dalam jihad dan usaha kerasnya, sangat butuh terhadap keikhlasan, guna menjaga amalan-amalan tersebut dari kesia-siaan, dan supaya ia tidak termasuk ke dalam firman Allah (yang artinya): “Dan Kami hadapkan segala amal (baik) yang mereka kerjakan (di dunia), lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan (sia-sia).” [QS. Al-Furqan: 23].

Dengan demikian, setiap Muslim dalam setiap amalnya wajib memperbaiki niat dan menyucikan jiwanya. Dalam hal ini, hendaknya ia selalu ingat sabda Rasulullah  may  Allaah  exalt  his  mention: “Sungguh seluruh amal itu harus dengan niat, dan setiap orang akan mendapat balasan sesuai niatnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]. Maka, keikhlasan kepada Allah adalah tali pengaman dalam kehidupan kaum Mukminin. Dengan keikhlasanlah amal mereka akan menjadi suci, pahala mereka berlipatganda dan derajat mereka semakin tinggi.

Dengan keikhlasanlah seluruh perbuatan dan perkataan diterima oleh Allah. Seluruh aktivitas ibadah, mengajar, belajar, amar ma`ruf anhi munkar infak, berbuat baik, jihad, sedekah, pengorbanan, dll., semua itu akan menjadi timbangan kebaikan bagi seorang hamba pada Hari Kiamat jika dilandasi oleh ikhlas. 

Maka kaum Muslimin yang beramal dituntut untuk keluar dari diri mereka sendiri, keluar dari kepentingan mereka, membersihkan batin terlebih dahulu sebelum membersihkan penampilan zahir. Betapa banyak amal-amal besar yang rusak gara-gar lintasan pikiran yang kecil dan hina! Betapa banyak usaha besar dan kesungguhan menjadi sia-sia lantaran keinginan-keinginan yang cacat dan rusak!

Diriwayatkan dari Abû Ad-Darda’  may  Allaah  be  pleased  with  them dari Rasulullah  may  Allaah  exalt  his  mention berliau bersabda: “Sesungguhnya ittiqâ’ (taqwa, ikhlas beramal, menyembunyikan amal karena Allah dan tidak menyebarluaskannya) terhadap amal lebih berat daripada beramal itu sendiri, dan sungguh seorang lelaki melakukan amal, lalu dicatatlah baginya amal shalih yang dikerjakan secara diam-diam itu, pahalanya dilipatgandakan 70 kali lipat. Namun Syetan terus-menerus menggodanya hingga ia menyebut dan menceritakan amalannya itu kepada manusia sehingga dicatatlah pahala amal itu sebagai amal terang-terangan, dihapus seluruh pelipat gandaan pahalanya. Kemudian Syetan kembali terus menggodanya sehingga ia kembali menyebut dan menceritakan amalan itu kepada manusia sehingga amal itu dihapus dari daftar amal terang-terangan dan dicatat sebagai amal riya’. Maka bertakqwalah kepada Allah seorang yang menjaga Agamanya, dan sungguh riya’ itu adalah syirik.” [HR. Al-Baihaqi]. 

Artikel Terkait

Keutamaan Haji