Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Adab Kepada Diri Sendiri

Cepat Marah

Cepat Marah

Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah untuk Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan shahabat beliau.

Sesungguhnya marah karena egoisme pribadi adalah sebuah sifat yang selayaknya dijauhi oleh setiap muslim. Karena marah dapat membuat seseorang melakukan sesuatu yang membuatnya menyesal di dunia dan Akhirat. Marah sendiri merupakan sebuah kondisi kejiwaan. Ia diartikan dengan perubahan emosi yang terjadi ketika darah di jantung terasa seperti mendidih, untuk melampiaskan apa yang ada di dalam dada.

Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—berpesan agar kita menjauhi marah dengan cara meninggalkan semua hal yang menjadi penyebabnya. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya, bahwa seseorang pernah berkata kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Berilah aku sebuah nasihat." Nabi menjawab, "Jangan marah." Orang itu mengulangi perkataannya beberapa kali. Tetapi Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—tetap menjawab, "Jangan marah." [HR. Al-Bukhâri]

Jika seorang muslim mengalami sesuatu yang membuatnya marah, seyogianya ia segera mengingat pesan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallamini: "Jangan marah." Kemudian ia bayangkan seakan-akan Baginda Nabi menujukan pesan ini langsung kepada dirinya.

Penyebab-penyebab Marah

Banyak faktor yang menjadi penyebab marah. Di antaranya:

·         Sifat ujub atau membanggakan diri. Sifat ujub terhadap pendapat, kedudukan, keturunan, dan kekayaan sendiri adalah sebab yang membangkitkan amarah dan permusuhan, jika semua itu tidak diikat dengan Agama.

·         Berdebat. "Perdebatan menggiring seseorang kepada amarah. Semoga Allah menghinakan akal yang menggiring kepada amarah." Oleh karena itu, Islam melarang kita berdebat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Aku adalah pemimpin sebuah rumah di bagian tepi Surga yang diperuntukkan bagi orang yang meninggalkan perdebatan, meskipun ia benar." [HR. Abû Dâwûd; Menurut Al-Albâni: hasan]

·         Bercanda. Kita sering memperhatikan orang-orang bercanda melampaui batas yang sewajarnya. Padahal Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Janganlah salah seorang dari kalian mengambil harta saudaranya, baik serius ataupun bercanda." [HR. Ahmad; Menurut Al-Albâni: hasan]. Nabi melarang hal itu karena bisa membangkitkan amarah.

·         Berlidah kotor dan kasar, dengan terbiasa mengeluarkan celaan ataupun ungkapan-ungkapan lain yang menyakitkan hati dan membangkitkan amarah.

·         Berkhianat dan terlalu berambisi menumpuk kekayaan dan mengejar jabatan.

Jenis-Jenis Marah

Pertama: Marah yang Terpuji

Marah yang terpuji adalah marah yang motivasinya karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—ketika melihat larangan-larangan-Nya dikerjakan. Marah seperti ini merupakan salah satu buah keimanan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman tentang Mûsâ—`Alaihis salâm—(yang artinya): "Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati, berkatalah ia, 'Alangkah buruknya perbuatan yang kalian kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kalian hendak mendahului janji Tuhan kalian?' Dan Musa melemparkan lembaran-lembaran (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menariknya ke arahnya." [QS. Al-A`râf: 150]

Terkait masalah ini, sebuah hadits juga diriwayatkan dari Aisyah—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia berkata, "Dan beliau (Rasulullah) tidak pernah membalas perilaku orang yang menyakiti beliau sedikit pun, kecuali jika ada larangan Allah yang dilanggar, maka beliau akan marah karena Allah—`Azza wajalla." [HR. Muslim]

Kedua: Marah yang Tercela

Marah yang tercela adalah marah karena sesuatu yang batil dan disukai oleh Syetan, seperti fanatisme jahiliah atau egoisme pribadi. Secara naluriah, manusia diciptakan dengan memiliki sifat marah dan sabar. Barang siapa yang marah, dan pada saat yang sama juga bersabar, maka tindakan seperti itu tidaklah tercela, selama kemarahan itu tidak membuatnya melakukan atau mengucapkan sesuatu yang terlarang.

Langkah-Langkah Mengatasi Sifat Marah

Terdapat beberapa cara untuk mengatasi amarah. Di antaranya:

·         Ber-ta`âwwudz (memohon perlindungan kepada Allah) dari godaan Syetan. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan jika Syetan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." [QS. Fushshilat: 36]

Sebuah hadits diriwayatkan dari Sulaimân Ibnu Shard—Semoga Allah meridhainya, ia berkata, "Suatu hari, aku duduk bersama Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, dan ketika itu ada dua orang laki-laki yang saling mencaci maki. Salah satu dari mereka terlihat wajahnya memerah dan urat nadinya menegang. Saat itu, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Aku tahu kata-kata yang jika ia ucapkan niscaya amarahnya akan hilang. Seandainya ia mengucapkan, 'A`ûdzubillâhi minasy Syaithânir rajîm (Aku berlindung kepada Allah dari (godaan) Syetan yang terkutuk)' niscaya amarahnya akan hilang." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

·         Merubah posisi. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abû Dzar—Semoga Allah meridhainya, bahwa Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Jika salah seorang dari kalian marah dan ia dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk. Jika amarahnya hilang (maka hendaklah ia tetap duduk), akan tetapi jika tidak, maka hendaklah ia berbaring." [HR. Abû Dâwûd dan Ahmad; Menurut Al-Albâni: shahih]

·         Meninggalkan perdebatan. Karena perdebatan akan membawa kepada kemarahan.

·      Mengingat pahala besar yang dijanjikan untuk orang yang menahan amarah. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):  "Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." [QS. Âli `Imrân: 134]. Dan Ihsân (berbuat baik sebagai balasan perbuatan buruk orang lain) merupakan derajat yang paling tinggi. Allah—Subhânahu wata`âlâ—juga berfirman (yang artinya):  "Dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf." [QS. Asy-Syûrâ: 37]

Sebuah hadits juga diriwayatkan dari Abû Dardâ'—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia berkata, "Aku pernah berkata kepada Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, 'Wahai Rasulullah, tunjukilah aku suatu amal yang bisa membuat aku masuk Surga." Beliau bersabda, "Jangan marah; niscaya engkau akan mendapatkan Surga." [HR. Ath-Thabrâni]

Dalam hadits lain, Anas ibnu Malik—Semoga Allah meridhainya—juga meriwayatkan bahwa NabiShallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Siapa yang menahan amarah, padahal ia mampu melampiaskannya, kelak Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada hari Kiamat, lalu Dia memberinya kebebasan untuk memilih bidadari mana yang ia sukai. [HR. Abû Dâwûd, At-Tirmidzi, dan Ibnu Mâjah; Menurut Al-Albâni: hasan]

Ibnu Taimiyah—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, "Tidak ada sesuatu yang lebih berat untuk dilakukan oleh seorang hamba daripada 'sabar' saat dirinya dikuasai amarah, dan 'sabar' saat ia ditimpa musibah." [Ibnu Taimiyah, Majmû`Fatâwâ]

·         Memperbanyak dzikir. Dalam hal ini, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram." [Ar-Semoga Allah meridhainya`d: 28]

Orang yang hatinya sudah tenang dengan mengingat Allah tentu akan jauh dari sifat marah.

·         Mengamalkan pesan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam, yaitu: "Jangan marah."

·         Memikirkan efek negatif dari amarah. Kita melihat orang yang pemarah biasanya dijangkiti berbagai penyakit, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, sindrom usus, dan penyakit-penyakit lain yang diketahui oleh para ahli di bidang ini. Di samping itu, marah juga menyebabkan seseorang mengatakan atau melakukan perbuatan yang membuatnya menyesal setelah gejolak marah itu berhenti.

·         Mengingat bahwa kekuatan hakiki seseorang itu terletak pada kemampuan menahan dan membuang amarah. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abû Hurairah, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Orang yang kuat itu bukanlah orang yang bisa menumbangkan (lawan). Sesungguhnya orang yang kuat adalah orang yang menguasai dirinya saat ia marah." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Ibnu Taimiyah—Semoga Allah merahmatinya—berkata, "Oleh karena itu, orang yang kuat dan tangguh adalah orang yang menguasai dirinya saat ia marah, sehingga ia tetap melakukan sesuatu yang baik, bukan yang sebaliknya. Adapun orang yang kalah di hadapan amarahnya, bukanlah orang yang kuat dan tangguh." [Ibnu Taimiyah, Majmû` Fatâwâ]

·         Menerima dan mengamalkan nasihat. Oleh karena itu, jika Anda melihat seseorang sedang marah, hendaklah Anda menasihatinya serta mengingatkannya tentang keutamaan sabar dan menahan amarah.

·         Mengetahui bahwa semua perilaku maksiat bersumber dari amarah dan syahwat, maka menjauhi amarah berarti menutup salah satu pintu maksiat. Ibnul Qayyim—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, "Seluruh maksiat bersumber dari amarah dan syahwat. Puncak dari amarah adalah membunuh. Sedangkan puncak dari syahwat adalah berzina. Oleh karena itu, Allah menggandengkan antara pembunuhan dengan zina, serta menjadikan keduanya berpasangan di dalam surat Al-An`âm." [Ibnul Qayyim, Zâdul Ma`âd]

Wallâhu ta`âlâ a`lam.

Wa shallallâhu wa sallama `alâ nabiyyinâ Muhammadin wa `alâ âlihi wa shahbihi

[Sumber: www.alimam.ws]

Artikel Terkait