Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Jalan Menuju Surga

Tanda Amal Diterima

Tanda Amal Diterima

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan shahabat beliau.

Setelah melakukan ketaatan atau ibadah seperti umrah, haji, puasa, shalat, sedekah, dan amal shalih lainnya, kita sering mengulang-ulang perkataan Ali—Semoga Allah meridhainya, "Seandainya kita tahu siapa orang yang diterima amalnya, sehingga kita beri ucapan selamat, dan siapa yang tidak diterima amalnya, sehingga kita hibur."

Setiap melakukan ibadah, kita sering juga mengulang-ulang perkataan Ibnu Mas`ûd—Semoga Allah meridhainya, "Wahai orang yang diterima amalnya, selamat. Wahai orang yang ditolak amalnya, semoga Allah mengganti musibah yang menimpamu (dengan yang lain)."

Ali—Semoga Allah meridhainya—juga berkata, "Janganlah kalian memperhatikan sedikitnya amal, tetapi perhatikanlah masalah diterimanya amal itu. Tidakkah kalian mendengar firman Allah (yang artinya): 'Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa'. [QS. Al-Mâ'idah: 27]."

Saudaraku, janganlah Anda seperti sebagian umat Islam yang tidak peduli dengan masalah diterima atau tidaknya amal perbuatan mereka. Bisa melakukan sebuah amal shalih adalah sebuah nikmat yang besar. Namun, nikmat itu belum sempurna kecuali dengan adanya nikmat lain yang lebih besar, yaitu diterimanya amal tersebut. Jika seorang hamba menyadari bahwa banyak amal kebajikan yang tidak diterima karena sebab-sebab tertentu, ia pasti akan sangat memperhatikan faktor-faktor penyebab diterimanya suatu amal. Jika faktor-faktor itu sudah ada pada dirinya, hendaklah ia memuji Allah atas karunia itu, dan terus berusaha mempertahankannya. Namun, jika ia tidak menemukan hal itu dalam dirinya, hendaklah ia segera mengusahakannya dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan.

Beberapa Sebab dan Tanda Diterimanya Amal

Apa sajakah sebab atau tanda amal seseorang diterima oleh Allah? Berikut jawabannya:

1.    Tidak Mengulangi Dosa Setelah Bertobat

Sesungguhnya mengulangi perbuatan dosa adalah sebuah indikasi kehancuran dan kerugian. Yahya Ibnu Mu`âdz pernah berkata, "Siapa yang beristighfar dengan lidahnya, sedangkan hatinya terikat dengan maksiat; dan ia berkeinginan untuk mengulangi maksiat itu setelah sebulan (misalnya), maka puasanya ditolak, dan pintu kabul tertutup untuknya."

Memang banyak manusia yang bertobat, namun pada saat yang sama ia mengatakan, aku sadar bahwa pada suatu saat nanti aku akan mengulanginya. Janganlah Anda ikut mengatakan kata-kata seperti ini. Katakanlah, "Insya Allah, aku tidak akan mengulanginya." Ucapkanlah dengan pasti, bukan tergantung ini dan itu. Kemudian mintalah pertolongan Allah, dan bertekadlah untuk tidak mengulangi perbuatan dosa itu.

2.    Khawatir Tidak Diterima

Allah tidak membutuhkan amal dan ibadah kita, sebagaimana disinyalir dalam firman-Nya (yang artinya): "Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji." [QS. Luqmân: 12]. Juga dalam firman-Nya (yang artinya): "Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman) kalian, dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kalian bersyukur, niscaya Dia meridhai bagi kalian kesyukuran itu." [QS. Az-Zumar: 7]

Seorang mukmin, meskipun sangat antusias beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan berbagai amal ketaatan, namun pada saat yang sama ia tetap sangat mengkhawatirkan dirinya. Ia takut amalnya tidak diterima. Sebuah hadits diriwayatkan dari 'Aisyah—Semoga Allah meridhainya, bahwa ia berkata, "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—tentang ayat (yang artinya): 'Dan orang-orang yang melakukan apa yang telah mereka lakukan, tetapi hati mereka merasa takut.' [QS. Al-Mu'minûn: 60]; apakah yang dimaksud adalah orang yang meminum khamar dan mencuri? Beliau menjawab: 'Bukan, wahai putri Abu Bakar Ash-Shiddîq. Mereka adalah orang-orang yang berpuasa, shalat, bersedekah, dan (pada saat yang sama) mereka takut semua itu tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang bersegera melakukan kebaikan."

Ya, meskipun sangat rajin melaksanakan ibadah-ibadah agung seperti di hadits itu, seorang mukmin tetap tidak mau bersandar kepada usahanya semata. Ia tidak menganggap ibadah-ibadah itu bernilai di hadapan Tuhannya. Ia menampakkan kebutuhan yang besar kepada ampunan dan rahmat Allah. Hatinya takut dan bergetar. Ia takut amalnya ditolak—Semoga Allah melindungi kita dari ditolaknya amal. Ia tengadahkan tangannya seraya memohon kepada Allah agar amal-amalnya itu diterima.

3.    Melakukan Amal Shalih Berikutnya

Di antara tanda diterimanya amal ketaatan seorang hamba adalah adanya taufik (bimbingan dari Allah) untuk melaksanakan ketaatan berikutnya. Salah satu tanda diterimanya sebuah kebaikan adalah terlaksananya kebaikan berikutnya. Karena suatu kebaikan (yang diterima oleh Allah) laksana memanggil kebaikan-kebaikan yang lain, "Saudaraku, saudaraku, (datanglah)!" Dan ini merupakan salah satu bentuk rahmat dan karunia Allah—Tabârak wa Ta`âla. Allah memberi hamba yang berbuat baik dan ikhlas dalam melakukannya sebuah kehormatan berupa kesempatan dan bimbingan untuk melakukan kebaikan yang lain, agar ia semakin dekat kepada-Nya.

Amal shalih ibarat pohon kebaikan, yang butuh siraman dan perawatan, agar bisa tumbuh dan tetap hidup, serta menghasilkan buah. Hal terpenting yang mesti kita lakukan adalah senantiasa merawat amal shalih yang selama ini kita lakukan. Kita jaga dan kita tambah amal itu sedikit demi sedikit. Inilah pengertian istiqamah sebagaimana yang pernah kita sampaikan.

4.  Menganggap Kecil Amal yang Dilakukan

Sungguh, walau bagaimana pun amal kebajikan yang dilakukan seorang mukmin, semua itu belum bisa memenuhi tuntutan syukur yang harus ia persembahkan untuk satu saja nikmat Allah yang ada pada dirinya, seperti nikmat pendengaran, penglihatan, kemampuan berbicara, dan sebagainya. Sebanyak apa pun amal yang ia lakukan belumlah sebanding dengan hak Allah-Tabâraka wa Ta`âla. Hak Allah yang harus dipenuhi lebih besar daripada apa yang bisa dipersembahkan oleh manusia. Makanya, orang-orang ikhlas biasanya menganggap kecil amal-amal yang telah mereka lakukan. Bahkan, mereka menganggap amal-amal itu sama sekali tidak bernilai, agar tidak jatuh kepada sikap ujub dan bangga. Karena jika ujub dan bangga itu muncul, maka nilai amal mereka akan gugur, sebagaimana mereka juga akan menjadi malas melakukan amal yang lain.

Di antara yang bisa membuat seseorang menganggap kecil amalnya adalah mengenal Allah—Subhânahu wata`âlâ, memperhatikan nikmat-Nya yang banyak, dan mengingat dosa dan kelalaian yang kita lakukan.

Mari kita perhatikan pesan Allah kepada Nabi Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallam—agar tidak menganggap besar amal yang beliau lakukan, setelah Allah menyuruh beliau melakukan beberapa tugas besar, yaitu dalam firman-Nya (yang artinya): "Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah engkau memberi untuk memperoleh yang lebih banyak." [QS. Al-Muddatstsir: 1-6]. Di antara tafsir ayat ke enam menurut Hasan Al-Bashri adadalah: "Janganlah engkau sebut-sebut amalmu kepada Tuhanmu, dan menganggapnya banyak."

Sedangkan Ibnul Qayyim mengatakan, "Selama engkau bisa membedakan hakikat Tuhan dan hamba, dan engkau mengenal Allah dan dirimu, serta engkau sadar bahwa amal yang engkau miliki tidak layak dipersembahkan kepada Raja Yang Mahabenar, meskipun engkau membawa amal seluruh Jin dan manusia, maka engkau pasti akan takut menerima balasan akhir amalan itu. Sesungguhnya Allah menerima amalan adalah murni karena karunia dan kebaikan-Nya. Sebagaimana Dia membalasi semua itu juga murni karena karunia dan kebaikan-Nya. [Madârijus Sâlikîn, II/439]

5.    Mencintai Amal Shalih dan Membenci Maksiat

Di antara tanda diterimanya amal seseorang juga adalah adanya rasa suka dan nyaman berbuat amal kebaikan. Dalam hal ini, Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram." [QS. Ar-Semoga Allah meridhainya`d: 28]

Di samping itu, di dalam hatinya juga ada kebencian terhadap maksiat (dosa), bahkan walau sekedar untuk mendekatinya. Karena itu, ia senantiasa berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari maksiat dengan mengatakan: "Ya Allah, tanamkan di dalam diriku kecintaan kepada keimanan, dan hiasilah ia di dalam hatiku. Dan buatlah hamba membenci kekufuran, kefasikan, dan maksiat, serta jadikanlah hamba termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk."

6.    Berharap dan Banyak Berdoa

Sesungguhnya takut kepada Allah saja belum cukup. Rasa takut mesti dibarengi oleh pasangannya, yaitu rasa harap. Karena rasa takut yang tidak dibarengi oleh pengharapan akan membawa kepada keputusasaan. Sebaliknya, pengharapan yang tidak disertai oleh rasa takut akan membuat seseorang merasa aman dari makar (ujian) Allah. Kedua sikap ini adalah sikap yang tidak baik, serta bisa merusak akidah dan ibadah seseorang.

Harapan diterimanya amal yang disertai dengan rasa takut ditolak juga membuat seseorang bersifat tawadhuk dan tunduk di hadapan Allah—Subhânahu wata`âlâ. Dengan demikian, imannya akan bertambah. Ketika ada harapan di dalam hati, seorang hamba akan mengangkat tangannya, memohon kepada Allah agar bersedia menerima amal yang telah ia lakukan. Karena hanya Allah-lah yang mampu berbuat demikian. Inilah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail—`Alaihimâs salâm—saat mereka membangun Ka'bah, sebagaimana yang diceritakan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ—dalam firman-Nya (yang artinya): "Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan dasar-dasar bangunan Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): 'Wahai Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." [QS. Al-Baqarah: 127]

7.    Dimudahkan Melakukan Kebaikan dan Menjauhi Maksiat

Subhânallâh, seandainya Allah menerima suatu amalan shalih dari Anda, Dia akan memberi Anda kemudahan melakukan kebaikan lain—yang barangkali di luar perkiraan Anda. Bahkan Allah juga akan menjauhkan Anda dari maksiat, meskipun Anda sudah begitu dekat dengan maksiat itu. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (Surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar." [QS. Al-Lail: 4-10]

8.    Mencintai Orang-orang Shalih dan Membenci Pelaku Maksiat

Di antara tanda diterimanya amal seseorang adalah adanya kecintaan di hatinya terhadap orang-orang shalih dan ahli ibadah, serta kebencian terhadap para pelaku maksiat. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Al-Barrâ' Ibnu `Âzib—Semoga Allah meridhainya, bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Sesungguhnya di antara ikatan iman yang paling kuat adalah mencintai karena Allah dan membenci karena Allah."

Saudaraku, katakan kepada saya siapa yang Anda cintai dan siapa teman bercengkerama Anda, saya akan katakan kepada Anda siapa diri Anda. Benar sekali apa yang dikatakan oleh `Âthâ'illah As-Sakandari, "Jika engkau ingin tahu bagaimana kedudukanmu di sisi Allah, perhatikanlan di mana Allah meletakkanmu (di dalam hidup)."

Semestinya ketika kita mencintai, membenci, memberi atau tidak, melakukan atau menjauhi sesuatu, semua itu kita lakukan karena AllahSubhânahu wa Ta`âlâ—yang tiada sekutu bagi-Nya. Ini sesuai dengan sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, berarti ia benar-benar memiliki iman yang sempurna." [HR. Ahmad].

9.    Banyak Beristighfar Meminta Ampun kepada Allah

Kalau kita perhatikan, banyak sekali amal ibadah yang diakhiri dengan istighfar. Karena meskipun seseorang sudah berusaha melakukan ibadah itu dengan maksimal, namun tetap saja ibadah itu tidak terlepas dari kekurangan dan cela. Lihatlah misalnya contoh-contoh berikut:

·         Setelah menunaikan ibadah haji, Allah memerintahkan dalam firman-Nya (yang berarti): "Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [QS. Al-Baqarah: 199]

·         Setelah menunaikan shalat, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—mengajarkan kita untuk berisitighfar sebanyak 3 kali. Begitu pun para hamba Allah yang bersimpuh sujud dalam munajat di malam hari juga menutup ibadah mereka dengan istighfar menjelang fajar. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan mereka selalu memohon ampunan di waktu sebelum fajar. [QS. Adz-Dzâriyât: 18]

·         Allah juga berpesan kepada Nabi-Nya, Muhammad—Shallallâhu `alaihi wasallamdalam firman-Nya (yang artinya): "Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang layak disembah selain Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan." [Muhammad: 19]

·         Allah juga menyuruh Rasulullah mengakhiri kehidupan beliau yang dipenuhi ibadah dan jihad di jalan-Nya dengan meminta ampun. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Penerima tobat. [QS. An-Nashr: 1-3]

·         Dalam sujud beliau, Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga meminta ampun dengan mengucapkan, "Subhânakallâhumma rabbanâ wa bihamdika allâhummaghfirlî (Mahasuci Engkau ya Allah, Tuhan kami, dan dengan memuji-Mu, Ampunilah aku)." [HR. Al-Bukhâri]

10. Menjaga Amal-Amal Shalih

Salah satu kebiasaan Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—adalah menjaga amal shalih yang beliau lakukan. Sebuah hadits diriwayatkan dari 'Aisyah—Semoga Allah meridhainyabahwa ia berkata, "Sesungguhnya Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—jika melakukan sebuah amalan selalu menjaganya." [HR. Muslim]

Amal yang paling dicinta oleh Allah dan Rasul-Nya adalah yang dilakukan dengan konsisten (berkesinambungan). Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling berkesinambungan walaupun sedikit." [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Berbahagialah orang yang senantiasa menjaga sebuah amal shalih. Jika suatu saat ia tidak bisa melakukan amal yang selalu ia jaga itu, baik karena sakit, maupun karena perjalanan, atau bahkan karena tertidur, pahala amal itu akan tetap ia dapatkan. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—dalam sabda beliau, "Jika seorang hamba sakit atau melakukan perjalanan, akan tetap dituliskan untuknya pahala amal yang ia lakukan ketika bermukim dan sehat." HR. Al-Bukhâri dan Muslim]

Keistimewaan ini hanya berlaku bagi orang yang biasa melakukan sebuah ibadah, kemudian ada suatu kondisi yang membuatnya tidak bisa melakukan ibadah tersebut, padahal ia sudah bertekad untuk selalu melakukannya. Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam—juga bersabda, "Seorang yang terbiasa melakukan shalat pada malam hari, namun suatu malam ia tertidur, Allah akan tetap menulis untuknya pahala shalat yang (biasa) ia lakukan itu. Sedangkan tidurnya adalah sedekah untuknya." [HR. An-Nasâ'i]

Kita berdoa semoga Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berkenan menerima amal ibadah kita dan ibadah seluruh kaum muslimin. Semoga Allah menerima puasa, shalat, haji, dan semua amal shalih yang kita lakukan. Semoga Allah juga memasukkan kita ke dalam golongan orang yang diselamatkan dari siksaan api Neraka.

Oleh: Amir Ibnu Muhammad Al-Madri

Imam dan Khatib Masjid Al-Iman—Yaman

[Sumber: www.saaid.net]

 

 

Artikel Terkait