Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Takdir dan Ilmu Allah

Boleh Jadi Anda Membenci Sesuatu yang Baik untuk Anda

Boleh Jadi Anda Membenci Sesuatu yang Baik untuk Anda

Oleh: Dr. Umar Ibnu Abdillah Al-Muqbil

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Dalam tulisan ini, pembicaraan kita akan berkisar seputar satu kaidah besar yang memiliki pengaruh luar biasa dalam kehidupan orang yang memahami, mengerti, dan mengamalkannya. Ia adalah kaidah yang terkait erat dengan salah satu rukun iman, yaitu iman kepada qadha dan qadar. Kaidah itu adalah firman Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—dalam surat Al-Baqarah, saat menjelaskan kewajiban jihad di jalan—Nya (yang artinya): "Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia adalah kebaikan untuk kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia adalah keburukan untuk kalian. Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui." [QS. Al-Baqarah: 216]

"Kebaikan" yang disebutkan secara global dalam ayat ini dijelaskan oleh Allah dalam surat An-Nisâ`, ketika berbicara tentang masalah perceraian. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—berfirman (yang artinya): "Apabila kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." [QS. An-Nisâ`: 19]

Kata "kebaikan yang banyak" dalam ayat surat An-Nisâ' ini adalah penjelasan dari kata "kebaikan" yang terdapat dalam surat Al-Baqarah di atas.

Pengertian Umum Kaidah Ini

Manusia terkadang mengalami kenyataan pahit dan musibah menyakitkan yang tidak ia sukai dalam hidupnya. Menghadapi hal itu, ia mungkin mengeluh, sedih, dan mengira bahwa apa yang terjadi telah menghancurkan masa depannya serta memupus seluruh harapan hidupnya. Tapi ternyata apa yang ia alami itu adalah sebuah karunia yang datang dalam rupa cobaan, dan kebaikan yang datang dalam bentuk ujian. Seringkali karunia besar dikira oleh banyak orang sebagai musibah. Ya, banyak manusia yang mendapatkan manfaat dari jalan yang tidak pernah mereka perkirakan.

Sebaliknya, betapa banyak orang yang mengejar sesuatu—yang secara kasat mata—berbentuk kesenangan, sehingga ia mati-matian meraihnya, semua yang berharga ia korbankan untuk mendapatkannya, namun setelah ia dapatkan, ternyata itu bukanlah kesenangan. Apa yang ia temui bertolak belakang dengan apa yang ia perkirakan. Inilah pengertian singkat dari kaidah yang dikandung oleh ayat yang kita sebutkan di atas.

Para pembaca yang budiman, jika kita perhatikan dan teliti dengan cermat kedua ayat di atas, kita akan mengetahui bahwa ayat pertama—yang berbicara tentang jihad—berkaitan dengan rasa sakit secara fisik yang biasa dirasakan oleh para mujahid di jalan Allah. Sedangkan ayat kedua—yang berkaitan dengan perceraian—berkaitan dengan rasa sakit secara batin (psikologis) yang dirasakan oleh salah satu pasangan suami-istri.

Ayat tentang jihad berbicara tentang ibadah, sedangkan ayat di surat An-Nisâ` itu membahas tentang interaksi keduniaan. Dari situ kita bisa menarik kesimpulan, bahwa kaidah ini memiliki cakupan yang sangat luas. Ia menyentuh perkara duniawi dan juga perkara ukhrawi, perkara jasmani (fisik) dan juga rohani (psikologis). Singkatnya, kaidah ini menyentuh seluruh kondisi manusia dalam kehidupan ini.

Dengan kalimat yang sangat jelas, ringkas, dan tiada tandingannya, Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—menegaskan dalam firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan susah payah." [QS. Al-Balad: 4]

Jika ini sudah kita pahami—sebagai seorang yang mengimani Al-Quran—maka sadarilah bahwa menerapkan kaidah ayat (yang artinya): "Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia adalah kebaikan untuk kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia adalah keburukan bagi kalian. Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui." [QS. Al-Baqarah: 216] merupakan salah satu cara paling ampuh untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman batin. Menerapkan kaidah ini merupakan salah satu sarana terpenting untuk menghindari kegelisahan yang menjangkiti banyak orang, karena mengalami berbagai tragedi hidup atau ditimpa takdir yang—secara zahir—terasa menyakitkan.

Jika kita mengkaji kisah-kisah Al-Quran, atau membuka lagi lembaran-lembaran sejarah, atau memperhatikan realita yang terjadi di tengah kehidupan, niscaya kita akan menemukan banyak pelajaran dan bukti yang menguatkan kaidah ini. Kita akan menyebutkan sebagian kisah-kisah itu, yang semoga bisa menjadi hiburan bagi semua orang yang sedang bersedih, dan pelipur lara bagi setiap orang yang sedang dirundung duka. Di antaranya:

1.     Kisah Ibu Musa Saat Menghanyutkan Musa di Sungai

Kalau kita pelajari kisah ini, kita akan menemukan bahwa satu hal yang sangat ditakuti oleh ibu Musa adalah jatuhnya sang anak ke tangan keluarga Fir'aun. Dan itulah yang terjadi, Musa jatuh ke tangan keluarga penguasa zalim itu. Tetapi hasil dan akhir manisnya baru dirasakan di masa-masa berikutnya. Maha Benar Allah dalam firman-Nya (yang artinya): "Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui."

2.     Kisah Yûsuf

Renungkan juga kisah Yûsuf—`Alaihis shalâtu was salâm, niscaya Anda akan menemukan bahwa kaidah yang dikandung dalam surat Al-Baqarah tadi sesuai dengan apa yang terjadi pada diri Yûsuf dan bapaknya, Ya`qûb—`Alaihimas shalâtu was salâm.

3.     Kisah Khidr dan Anak Kecil

Perhatikan pula kisah bocah yang dibunuh oleh Khidr berdasarkan perintah dari Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ. Khidr menjelaskan alasan kenapa ia membunuh anak itu dalam ayat (yang artinya): "Dan adapun anak kecil itu, maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir, ia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Maka kami berkeinginan agar Tuhan mereka mengganti untuk mereka dengan anak yang lebih baik kesuciannya dari anak itu, dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya)." [Qs. Al-Kahf: 80-81]

Di sini, mari kita berhenti untuk merenung sejenak. Betapa banyak pasangan suami-istri yang sedih dan gundah gulana karena tidak dikaruniai anak. Kesedihan itu adalah tabiat manusia yang wajar terjadi. Namun yang tidak boleh terjadi adalah kesedihan yang berkepanjangan, juga perasaan 'tidak memiliki' yang membunuh perasaan-perasaan lain yang ada dalam diri.

Alangkah baiknya, seandainya suami-istri yang tidak dikaruniai anak merenungi ayat ini, bukan hanya agar kesedihan mereka sirna, namun juga agar hati mereka tenang dan lapang, agar perasaan mereka menjadi tenteram. Alangkah baiknya, seandainya mereka memandang takdir ini sebagai suatu nikmat dan rahmat dari Allah. Barangkali Allah tidak memberi mereka anak lantaran sayang kepada mereka. Karena bisa jadi, jika mereka dikaruniai anak, anak tersebut akan menjadi sebab kesengsaraan, kesempitan, dan hilangnya kenikmatan hidup mereka. Atau boleh jadi sang anak akan mencoreng nama dan kehormatan diri mereka.

4.     Kisah dalam Sunnah (Hadits)

Dalam hadits, kita juga menemukan kisah seperti ini ketika suami Ummu Salamah meninggal dunia. Ummu Salamah—Semoga Allah meridhai mereka—berkata, "Aku mendengar Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, 'Tiada seorang muslim pun yang ditimpa sebuah musibah, lantas ia mengatakan, 'Innâlillâhi wa innâ ilaihi râj`ûn, ya Allah, berilah aku ganjaran pahala atas musibahku ini, dan gantilah aku dengan yang lebih baik darinya', niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.'

Ummu Salamah berkata, "Ketika Abu Salamah meninggal, aku bergumam, 'Muslim yang mana yang lebih baik dari Abû Salamah? Keluarga pertama yang berhijrah bersama Rasulullah'. Tidak lama setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Allah mengganti Abu Salamah dengan Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam." [HR. Muslim]

Coba Anda renungkan perasaan Ummu Salamah. Perasaan yang dirasakannya adalah apa yang juga dirasakan oleh wanita lain ketika kehilangan suami. Ketika ditimpa kejadian seperti ini, setiap wanita secara tidak langsung akan berucap, "Siapa yang lebih baik dari suami saya?"

Ketika Ummu Salamah bersabar seraya mengucapkan 'Innâlillâhi wa innâ ilaihi râj`ûn' dan doa yang diajarkan oleh Rasulullah, Allah pun mengganti untuknya dengan yang lebih baik, dan tidak pernah terlintas dalam pikirannya.

Beginilah seharusnya sikap seorang yang beriman. Ia tidak boleh membatasi kebahagiaannya di dunia pada satu pintu saja. Kesedihan adalah rasa yang juga pernah hingap di hati semua orang, bahkan para nabi dan rasul sekalipun. Tetapi yang terpenting adalah jangan sampai kita membatasi harapan hidup atau kebahagiaan hanya pada pada satu hal, pada seorang laki-laki, pada seorang wanita, atau pada seorang guru.

5.   Dalam realita kehidupan, kita juga menyaksikan banyak kejadian yang membuktikan kebenaran kaidah ini. Sebagai contoh, sebuah kisah yang diceritakan oleh Thanthâwi—Semoga Allah merahmatinya—dari seorang sahabatnya. Suatu ketika, ada seorang laki-laki pergi ke bandara untuk melakukan sebuah perjalanan. Ia sangat ingin berangkat. Tetapi karena berada dalam kondisi sedikit letih, ia tertidur di bandara itu. Ketika terbangun, ternyata pesawat yang bermuatan 300 penumpang lebih yang mestinya ia tumpangi itu baru saja berangkat. Ia sangat sedih dan menyesal karena batal berangkat. Namun, beberapa menit kemudian, datanglah pengumuman bahwa pesawat yang baru berangkat itu jatuh. Seluruh penumpang yang ada di dalamnya hangus terbakar!

Bukankah batal berangkat itu ternyata lebih baik bagi orang ini? Sayangnya, hanya sedikit orang yang mau mengambil iktibar dan pelajaran.

6.     Pelajar dan Penjara

Kisah lain adalah cerita seorang pemuda yang belajar di luar daerahnya. Pada suatu musim ujian, ia pergi ke sebuah pulau untuk belajar. Ketika berjalan di pulau tersebut, ia memetik beberapa tangkai bunga. Perbuatannya itu dilihat oleh pihak keamanan, dan mereka pun menangkapnya dan memenjarakannya selama sehari semalam sebagai hukuman. Ia memohon dengan sangat kepada mereka agar melepaskannya karena ia harus ikut ujian pada keesokan harinya. Namun mereka tetap tidak membebaskannya.

Kemudian apa yang terjadi? Kapal penumpang yang berlayar dari pulau tersebut­—yang mestinya ia tumpangi—tenggelam. Semua penumpang yang ada di dalamnya ikut tenggelam. Tinggallah ia sendiri yang diselamatkan oleh Allah Yang Maha Esa.

Kesimpulan

Sesungguhnya tugas seorang mukmin hanyalah berusaha melakukan kebaikan sekuat tenaga, kemudian bertawakal pada Allah. Sedangkan berhasil atau tidaknya usaha itu dalam menghasilkan apa yang dituju bukanlah tanggung jawabnya. Ia harus mengerahkan segala apa yang mungkin dan boleh ia kerahkan untuk meraih harapan, tetapi ketika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan, ia harus mengingat kaidah Al-Quran yang kita bicarakan ini: "Boleh Jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia adalah kebaikan untuk kalian, dan boleh jadi (pula) kalian menyukai sesuatu, padahal ia adalah keburukan bagi kalian. Allah mengetahui, sedang kalian tidak mengetahui." [QS. Al-Baqarah: 216]

Ia juga harus mengingat bahwa di antara rahmat Allah terhadap para hamba-Nya adalah dengan mentakdirkan untuk mereka berbagai musibah, ujian, cobaan, serta perintah ataupun larangan yang berat, karena rasa sayang dan cinta kepada mereka. Itu semua adalah cara Allah untuk menggiring mereka kepada kesempurnaan diri dan meraih nikmat yang sempurna. [Tafsîr Asmâ`illâhil Husnâ, karya As-Sa`di]

Di antara bentuk kasih sayang Allah yang juga tidak kalah besarnya adalah bahwa Dia tidak membuat kesenangan hidup manusia terikat secara utuh kepada faktor apa pun selain diri-Nya. Segala sesuatu dapat diganti, baik secara utuh ataupun sebagian.

[Ini adalah kaidah kedua dari silsilah artikel Dr. Umar Ibnu Abdillah Al-Muqbil yang berjudul: "Qawâ'id Qur'âniyyah" (Kaidah-kaidah Qurani)]

Sumber: www.almoslim.net

Artikel Terkait