Islam Web

  1. Ramadhan
  2. Artikel Lainnya

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar

Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar

Para Nabi dan Rasul adalah makhluk pilihan, Tuhan kita—`Azza wajalla—telah memilih mereka dan menjadikan mereka sebagai contoh yang baik dan suri teladan. Di antara Nabi yang berulang penyebutan namanya di dalam Al-Quran adalah Nabi Allah Ibrâhîm `Alaihis salâm, ia adalah Bapak para Nabi, pemimpin orang-orang yang lurus, dan Kekasih Allah. Allah telah menyebutkan di dalam kitab-Nya untuk kita tentang kondisi-kondisi dan sikap-sikapnya, berupa seruannya kepada keesaan Allah dan berpegang teguh pada ajaran-Nya, bagaimana ia menghadapi kaumnya, berbagai rintangan yang ia temui saat berdakwah kepada kaumnya berupa tekanan dan penolakan, serta bagaimana ia secara berani mengungkapkan keberlepasannya dari kesyirikan kaumnya, bahkan kepada orang yang sangat dekat dengannya, hingga Allah—Subhânahu wata`âlâ—menggambarkannya dengan firman-Nya (yang artinya): "Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji?." [QS. An-Najm: 37], dan firman-Nya (yang artinya): "Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam." [QS. An-Nahl: 120]

Banyak kejadian-kejadian dalam kehidupan Nabi Allah Ibrâhîm, di mana kejadian tersebut menjadi petuah dan teladannasihat yang harus diikuti. Dan kita ingin merenungi beberapa hikmah yang ada dalam peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim, yaitu tentang ketetapan hati dan keteguhan beliau dalam menghadapi cobaan, serta penyerahan diri dan ketundukan beliau terhadap perintah-perintah Allah—Subhânahu wata`âlâ.

Cobaan yang menimpanya tidak berhenti saat ia harus berseteru dengan ayahnya, setelah sebelumnya ia dilemparkan ke kobaran api, lalu Allah menyelamatkannya dari tipu daya mereka itu, hingga kemudian beliau menghadapi fase lain dan membuka lembaran baru dari lembaran-lembaran ujian. Yaitu saat beliau harus keluar berhijrah menuju Tuhannya meninggalkan kenangan masa lalunya, meninggalkan ayah, kaumnya, keluarganya, rumah dan tanah airnya, beliau menyerahkan diri sepenuhnya untuk Tuhannya, beliau meyakini betul bahwa Tuhannya akan memberikan petunjuk baginya dan menunjukkannya ke jalan yang benar, "Dan Ibrahim berkata: 'Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku.'" [QS. Ash-Shâffât: 99]

Ibrahim awalnya sendirian tidak memiliki keturunan, lalu beliau menghadap Tuhan-Nya memohon kepada-Nya keturunan yang beriman dan penerus yang shalih, "Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih." [QS. Ash-Shâffât: 100], maka Allah mengabulkan doa hamba dan kekasih-Nya itu, dan memberikan kabar gembira kepadanya dengan seorang anak laki-laki yang sabar yaitu Ismail—`Alaihis salâm.

Mari kita bayangkan laki-laki tua ini yang sendiri pergi berhijrah, yang meninggakan keluarga dan sanak-saudaranya, dan bagaimana kegembiraannya dengan kelahiran putranya itu yang lahir pada usianya yang sudah senja, serta keterasingannya dari keluarga dan sanak saudara.

Kemudian, belum lagi anak itu tumbuh muda dan dewasa, di mana setiap hari keterikatan hatinya semakin bertambah-tambah kepada sang anak, hingga tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama dengan (ayah)nya menemaninya dalam urusan-urusannya, dan membantunya dalam keperluan sehari-hari, segera setelah ia (Ibrahim) mencintainya dan berharap padanya, sang ayah bermimpi bahwa ia menyembelih anaknya. Di sini datang ujian dan cobaan yang jelas sebagaimana yang disebutkan oleh Allah—Subhânahu wata`âlâ.

Betapa besar masalah itu dan betapa beratnya bagi diri sang ayah, beliau tidak diperintah untuk mengirimkan anak satu-satunya ke medan perang, tidak pula diminta untuk membebani anaknya dengan sebuah masalah yang dapat mengakhiri hidupnya dengan hal itu, tetapi beliau diminta untuk menyembelih anaknya dengan tangannya sendiri. Maskipun demikian beliau tidak ragu-ragu dan tidak menunda-nunda perintah tersebut, tetapi beliau menerimanya dengan keridhaan dan penyerahan (ketundukan), serta memenuhi panggilan tersebut dengan tanpa ragu-ragu, dan menerima dengan tanpa kecemasan dan kegelisahan.

Lalu beliau mendatangi anaknya menjelaskan kepadanya tentang perihal yang besar itu, agar menjadi lebih mudah baginya, untuk menguji kesabaran dan ketabahannya, serta agar ia menaatinya sebagai ketundukan kepada perintah Allah, sehingga ia mendapatkan pahala dan ganjaran. Tidaklah jawaban sang anak kecuali ia mengatakan, "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." [QS. Ash-Shâffât: 102]

Maka telah dekatlah waktu pelaksanaan, dan Ibrahim telah mebalikkan anaknya di atas pelipisnya untuk bersiap-seiap (menyembelih), dan sang anak pun berserah diri tidak bergerak demi melaksanakan perintah, dan keduanya telah menyerahkan urusannya kepada Allah dengan penuh kepercayaan, ketenangan, kerelaan dan kepatuhan, "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)." [QS. Ash-Shaff: 103]. dan tidak ada yang tersisa kecuali Ismâ'il disembelih dan mengalir darahnya.

Di sini sang ayah dan anak telah menunaikan perintah dan melaksanakan kewajiban, Allah tidak ingin menyiksa hamba-hamba-Nya dengan memberikan cobaan bagi mereka, tetapi Dia ingin menguji kesabaran, keimanan dan keyakinan mereka. Ketika ujian telah terjadi, dan hasil-hasilnya telah tampak, tujuan-tujuannya telah terealisasi, serta tujuan mimpi telah tercapai, maka datanglah panggilan Tuhan: "Dan Kami panggillah ia: 'Hai Ibrahim,sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.'" [QS. Ash-Shâffât: 104-106]

Karena Ibrahaim telah mendermakan sesuatu yang paling mulia bagi Allah—`Azza wajalla, maka Allah menggantinya dengan tebusan yang besar bagi anaknya, dan mengekalkan penyebutannya di alam semesta, dan memberikan kabar gembira kepadanya dengan kelahiran Ishâq sebagai Nabi dari orang-orang shalih, "Dan Kami tebus anak itu dengan dengan seekor sembelihan yang besar.Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian." [QS. Ash-Shâffât: 107-108]

Dengan demikian penyembelihan tersebuttelah menjadi sunnah abadi yang akan kekal di alam semesta, sebagai warisan teladan dari dari kekasih Allah Ibrahim sampai hari kiamat. Allah mengekalkan peringatan kejadian yang besar ini dalam kitab-Nya, untuk menjelaskan hakikat iman, pengaruh ketaatan, kesempurnaan, kepatuhan, dan agar umat mengetahui hakikat bapaknya, Ibrahim, yang mengikuti ajarannya, mewarisi keturunan dan akidahnya, dan agar umat mengetahui bahwa Islam adalah agama para Rasul semuanya, dan bahwa hakekatnya adalah berserah diri kepada perintah-perintah Allah, tanpa ragu-ragu dan ditunda-tunda, meskipun berbeda dengan keinginan hawa nafsunya.

Hendaklah seorang hamba meyakini bahwa Allah tidak ingin menghukumnya dengan ujian, dan tidak menyakitinya dengan cobaan, tapi yang Dia inginkan adalah mendatangi-Nya dalam keadaan taat dan memenuhi panggilan-Na, tidak bersumpah karena-Nya dan tidak mendahului-Nya, maka jika Dia telah mengetahui kejujuran darinya, niscaya Dia akan membebaskannya dari kepedihan-kepedihan dan pengorbanan-pengorbanan, memperhitungkannya sebagaimana kalau ia menunaikannya, dan memuliakannya sebagaimana Dia memuliakan bapaknya Ibrâhîm sebelumnya.

Wallâhu a`lam.    

 

Artikel Terkait