Sungguh di antara amanah yang paling besar ialah amanah menjaga diri sendiri. Ia lebih besar daripada amanah menjaga anak, lebih besar daripada amanah menjaga harta. Allah bersumpah dengannya di dalam Kitab Suci-Nya, dan Allah tidak bersumpah kecuali dengan perkara yang besar. Dia berfirman (yang artinya): “Dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaannya.” [QS. Asy-Syams: 7].
Allah telah menjadikan bagi jiwa ini dua jalan yaitu: jalan ketaqwaan yang akan membawanya menuju kesuksesan dan keberuntungan dan jalan kemaksiatan yang akan menggiringnya menuju kerugian dan kebuntungan. Allah berfirman (yang artinya): “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” [QS. Asy-Syams: 8-10].
Orang yang merenungkan keadaan manusia di zaman ini akan melihat betapa jiwa/rohani menjadi sangat murah bagi pemiliknya. Mereka melihat hidup ini sebagai sebuah kerugian lantaran tak pernah memuhasabahi dirinya, sehingga hidup mereka berlalu begitu saja seolah hanya sesaat. Allah berfirman (yang artinya): “Dan pada Hari terjadinya Kiamat, orang-orang yang berdosa itu bersumpah: ‘Mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)...” [QS. Ar-Rum: 55]. Juga berfirman (yang artinya): “Maka bersabarlah kamu seperti bersabarnya rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dahulu diancamkan kepada mereka (mereka merasa) seolah-olah tidak hidup (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” [QS. Al-Ahqaf: 35]. Kehidupan mereka hanya lewat seolah beberapa hari saja. Allah berfirman (yang artinya): “Allah bertanya: ‘Berapa tahunkah lamanya kalian hidup di bumi?’ Mereka menjawab: ‘Kami hidup (di bumi) sehari atau setengah hari saja. Tanyakanlah kepada orang-orang yang menghitung.” [QS. Al-Mu'minun: 112-113].
Orang yang tak pernah melakukan muhasabah diri kelak akan sangat menyesal pada Hari dimana penyesalan tiada lagi berguna. Allah berfirman: “Supaya jangan ada orang yang mengatakan: ‘Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah ).” [QS. Az-Zumar: 56]. Mereka berharap dikembalikan ke dunia untuk beramal shalih, namun harapan mereka tiada artinya. Allah berfirman (yang artinya): “Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): ‘Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal shalih, sungguh kami adalah orang-orang yang telah yakin.’” [QS. As-Sajdah: 12].
Mereka diseret ke hadapan Tuhan layaknya seorang hamba sahaya yang mencoba melarikan diri dari tuannya lalu ia ditangkap lalu dibawa kembali kemudian disambut dengan borgol, rantai, penjara, pukulan dan siksaan. Mereka benci bertemu dengan Allah, dan barang siapa benci bertemu Allah maka Allah benci bertemu dengannya. Mereka membenci kematian karena mereka telah memegahkan dunia dan menghancurkan Akhiratnya. Tentu mereka tidak mau berpindah dari kemegahan kepada kehancuran.
Para penyeru mereka kepada kesia-siaan dan kerugiaan adalah hamba-hamba dunia yang menjadikan kehidupan dunia hanya sebagai hiburan, permainan, perhiasan, kebanggaan, perlombaan menumpuk harta dan memperbanyak keturunan. Mereka sejatinya telah menjadikan dunia sebagai kebangkrutan (bagi diri mereka di Akhirat). Allah berfirman (yang artinya): “Barang siapa menghendaki keuntungan Akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa menghendaki keuntungan dunia maka Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bagianpun di Akhirat.” [QS. Asy-Syûrâ: 20]. Mereka menjadikan kehidupan dunia hanya sebagai perhiasan yang fana, tidak menggemukkan dan tidak mengenyangkan. Allah berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya Akhirat itulah Negeri yang kekal.” [QS. Ghafir: 39].
Dengan meninggalkan muhasabah diri Syetan akan berkuasa menyeru melakukan maksiat, melarang melaksanakan ketaatan, menghias indah kebatilan, merintangi dan memalingkan seseorang dari amal shalih serta merusaknya, lalu menyibukkannya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Meninggalkan muhasabah diri menjadikan manusia lalai sehingga mereka memiliki hati namun tidak digunakan hati untuk memahami, memiliki mata namun tak digunakan untuk melihat, memiliki telinga namun tak digunakan untuk mendengar, mereka layaknya binatang ternak, bahkan lebih sesat, mereka itulah orang-orang yang lalai. Allah berfirman (yang artinya): “Dan sengguh Kami jadikan isi neraka Jahannam itu kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” [QS. Al-A`raf: 179].
Hendaklah setiap Muslim menyadari bahwa tidak ada orang yang selamat dari kerugian dan kesia-siaan kecuali mereka yang memiliki empat sifat:
- Sifat “iman” yang dengannya ia memperoleh keamanan (keselamatan) di dunia dan Akhirat.
- Sifat “amal shalih” yang dengannya ia meraih kebaikan di dunia dan Akhirat.
- Sifat “saling menasihati dengan kebenaran” yang dengannya terlaksana kewajiban memberi nasihat dan terwujud cinta kebaikan bagi orang lain.
- Sifat saling menasihati dengan kesabaran”, karena amal apapun tidak akan menghasilkan buahnya kecuali dengan kesabaran. Kesabaran di dalam Agama ibarat kepala bagi jasad. Allah berfirman (yang artinya): “Demi masa. Sungguh manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali mereka yang beriman dan mengerjakan amal shalih serta nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” [QS. Al-`Ashr: 1-3]. Imam Asy-Syafi`i berkata: “Kalaulah Allah tidak menurunkan hujjah (argumen kebenaran) atas makhluk-Nya selain surat ini maka sungguh surat ini telah cukup bagi mereka (sebagai hujjah).”