Sebab-sebab Larisnya Berita Bohong (Isu Negatif)
- Menyukai perkara sia-sia dan dorongan naluriah para pendengar
- Perasaan senang para penebar isu negatif ketika melihat para pendengar antusias mendengar perkataanya dan terpesona kepadanya.
- Penebar isu tidak memikirkan akibat buruk bagi para pendengar jika ternyata berita itu tidak benar.
- Lemahnya rasa beragama orang yang penukil berita.
- Tidak melakukan introspeksi diri
Ajaran Islam Dalam Menilai Isu Negatif
Allah berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sebenarnya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” [QS. Al-Hujurat: 6].
Nabi bersabda: “Cukup merupakan sebuah kebohongan bagi seseorang yang menceritakan segala yang ia dengar.” [HR. Muslim]. Dalam riwayat lainnya: “Cukup merupakan sebuah dosa menceritakan segala yang didengar.” [HR. Muslim].
Imam Malik —berkata: “Ketahuliah bahwa sungguh merupakan sebuah kerusakan besar seseorang menceritakan segala yang ia dengar.”
Al-Munawi menjelaskan: “Maksud hadits di atas, (ia berdusta) jika tidak berhati-hati (selektif bercerita). Karena ia bisa saja mendengar perkataan yang benar ataupun dusta, sehingga apabila ia menceritakan segala yang didengarnya maka mesti ia berdusta. Dusta ialah menginformasikan sesuatu tidak sebagaimana adanya meskipun ia tidak sengaja. Akan tetapi kesengajaan (berdusta) adalah penyebab dosa.”
Nabi bersabda tentang orang yang mengabarkan segala yang ia dengar: “Sungguh buruk tunggangan (kendaraan) seseorang (yang selalu mengatakan): ‘Za`amû (Katanya)’.” [HR. Abu Dawud]. Karena kata: ‘katanya..’ adalah kata tercela dalam banyak konteksnya.
Imam Al-Baghwi menjelaskan dalam kitab Syarh As-Sunnah: “Kata ini dicela karena biasanya digunakan untuk pembicaraan yang tidak ada sanadnya dan tidak sandaran kebenarannya, tetapi sekedar pembicaraan yang menjadi buah bibir. Nabi
menyerupakan ungkapan ‘katanya’—yang digunakan seseorang untuk mendapatkan tujuannya—dengan kuda tunggangan yang dapat mengantarnya menuju tujuan yang diingikannya. Maka Nabi
memerintahkan agar selektif dan berhati-hati terhadap apa yang ingin disampaikan, dimana seseorang tidak menyampaiakn pembicaraan kecuali yang bersumber dari orang yang terpercaya.”
Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata: “Seseorang tidak menjadi imam yang patut diteladani sampai ia menahan diri untuk tidak menyampaikan sebagian dari apa yang ia dengar.”
Apakah kewajiban penukil isu negatif?
Ia wajib bertaqwa (taukut) kepada Allah atas dirinya, mengawasi semua ucapan dan tindakannya, selalu menyadari bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap kata yang ia ucapkan. Allah berfirman (yang artinya): “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir.” [QS. Qaf: 18]. Allah juga berfirman (yang artinya): “Padahal sesungguhnya bagi kalian ada (Malaikat-Malaikat) yang mengawasi (perbuatan kalian).” [QS. Al-Infithar: 10]. Nabi bersabda: “Siapa yang menjamin bagiku (untuk menjaga) apa yang berada di antara kumis dan jenggotnya (mulutnya: ucapan) dan yang berada di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku menjamin baginya Surga.” [HR. Al-Bukhari].
Ia juga harus mengedepankan husnuzhzhan (baik sangka) kepada saudaranya sesama muslim.
Niat menyampaikannya juga harus bersih, tidak ada kotorannya, seperti seorang yang menggunakan penyebutan isu negatif untuk membuang sesuatu yang ia rasakan di dalam dadanya dari orang yang diberitakan. Hendaklah seorang muslim menghindari cara yang buruk ini, karena Allah berfirman (yang artinya): “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah pada-Nya...” [QS. Al-Baqarah: 235].
Ia juga harus segera berkonsultasi kepada para ulama tentang isu negatif ini. Ia harus mengambil petunjuk mereka, sebab mereka lebih mengerti kemaslahatan dalam hal ini, berkat ilmu dan pengalaman mereka.
Hendaknya tujuannya dalam menukil isu negatif ialah untuk memverifikasi kesahihan penisbatan isu tersebut kepada orang yang diisukan. Maka ia harus menjelaskan hal ini kepada para pendengar supaya ia mendapat pencerahan dari pendapat mereka tentang kebenaran berita itu.
Penukil isu negatif juga harus mendorong para pendengar untuk selektif dan berhati-hati dalam menukil kembali isu itu dari dirinya, karena dialah yang menjadi sumber utama berita yang mereka sampaikan. Semua ucapan yang keluar dari mereka terikat dan kembali kepadanya. Maka yang lebih utama ialah menukil ucapan secara lengkap sebisa mungkin. Pepatah mengatakan: “Tidaklah berita itu rusak melainkan karena rawinya.”
Ia juga harus benar-benar yakin dan selektif dengan semua yang ia katakan, berhati-hati agar tidak menambah-nambah perkataan dan tidak menukil kecuali jika ia benar-benar yakin dengannya atau telah melihatnya supaya ia terbebas dari kesalahan. Ia juga tidak perlu membicarakan dan menyebarkan semua yang didengarnya, karena jika kaum Muslimin tidak membicarakan isu-isu tersebut niscaya ia akan mati di ayunannya (padam sejak awal).
Ia juga harus berpaling dari ucapan-ucapan para pendusta, orang-orang munafik, mereka yang gemar membicarakan orang lain dan orang-orang yang hatinya berpenyakit, serta tidak membiarkan dan tidak menyukai mereka dengan ucapan-ucapan itu. Jika isu-isu negatif dikelilingi dengan pagar-pagar di atas maka pengaruh negatifnya terhadap masyarakat Muslim bisa ditanggulangi.
Kewajiban Seorang Muslim Yang Mendengar Isu Negatif
Pertama: Seorang Muslim harus melihat kredibelitas pembawa berita, apakah ia seorang yang dipercaya, orang fasik atau berada di antara keduanya? Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sebenarnya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.” [QS. Al-Hujurat: 6].
Kedua: Ia harus menasihati para pembawa berita bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap kalimat yang diucapkannya, serta mendorongnya supaya berusaha memastikan dan tidak terburu-buru menyampaikan berita.
Ketiga: Ia tidak boleh langsung begitu saja mempercayai segala isu negatif, terutama jika bukti dan indikator penguat berita itu tidak cukup, supaya tidak termasuk ke dalam golongan orang yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya): “(Ingatlah) di waktu kalian menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut, dan kalian mengatakan dengan mulut kalian apa yang tidak kalian ketahui sedikitpun, dan kalian menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal ia di sisi Allah adalah perkara besar.” [QS. An-Nur: 15].
Keempat: Jika isu negatif itu dialamatkan kepada seorang yang dikenal sebagai orang baik maka isu itu harus dipahami dengan pemahaman yang baik dan mencarikan uzur yang syar`i baginya. Jika ia tidak menemukan alasan apapun atas berita yang dialamatkan kepada orang itu itu maka pendengar harus mengingatkan si pembawa berita bahwa kewajibannya dalam hal ini ialah menasihati dan mengarahkan guna meluruskan kebengkokan akibat isu negatif itu.
Adapun terkait orang yang diisukan: Orang tersebut tidak lepas dari dua kondisi: Kepribadiannya dikenal ataupun tidak dikenal. Jika ia dikenal sebagai seorang yang baik dan shalih, terutama para ulama, atau kaum Muslimin secara umum, maka setiap orang harus bertaqwa kepada Allah, melindungi lidahnya agar tidak terjerumus membicarakan kehormatan orang lain yang dikenal sebagai orang baik, teguh memegang Sunnah dan berakidah yang baik. Karena mereka adalah para pemimpin, penuntun dan cahaya bagi umat, dan tidak ada kebaikan bagi suatau kaum yang tidak mempedulikan kehormatan ulamanya. Nabi bersabda: “Barang siapa membela kehormatan saudaranya di belakangnya niscaya Allah akan membebaskannya dari Neraka.” [HR. Ahmad (Shahih)].
Jika orang yang diisukan itu tidak dikenal sebagai orang yang baik maka pembawa berita tentangnya juga tidak boleh menambah-nambah, meskipun orang itu adalah musuhnya, karena tindakan itu termasuk kezaliman dan kebohongan. Allah berfirman (yang artinya): “Hai orang-orang beriman hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan.” [QS. Al-Ma'idah: 8].
Adapun jika orang yang diisukan itu tidak dikenal kepribadiannya maka sikap yang benar ialah sama hukumnya seperti di atas. Pembawa berita tidak boleh menceritakan macam-macam tentangnya tanpa berhati-hati, karena ketidaktahuan tentang kepribadian seseorang tidak menjadi alasan untuk membicarakannya tanpa pengetahuan. Bisa jadi isu tentang orang yang tak dikenal itu mendorong orang lain untuk membicarakannya secara tidak benar.
Cara Melawan Isu Negatif
- Menasihati si pembawa isu agar takut kepada Allah, mengingatkan bahaya membicarakan sesuatu tanpa pengetahuan dan akibat buruk yang akan terjadi bila ternyata isu tersebut tidak benar. Allah berfirman (yang artinya): “Sehingga menyebabkan kalian menyesal akibat perbuatan kalian itu.” [QS. Al-Hujurat: 6].
- Tidak terburu-buru menerima isu negatif tanpa mempertanyakan atau membantah.
- Tidak berulang-ulang menceritakan isu tersebut karena akan semakin menambah penyebarannya, belum lagi kebohongan-kebohongan yang membubuhi dan ketidakakuratan penukilan.
- Menelusuri jejak isu negatif tersebut untuk menemukan siapa sumbernya lalu menghukumnya dengan tegas.
- Jangan mempedulikan, jangan menampakkan perhatian dan ketakjuban ketika mendengarnya.
- Wajib meragukan kebenarannya apabila orang-orang ramai memberitakannya supaya mereka melakukan introspeksi diri sebelum menyebarkannya kembali.
Pengaruh Isu Negatif Terhadap Masyarakat Muslim
Isu negatif berpengaruh buruk terhadap masyarakat Muslim. Ringkasnya sebagai berikut:
- Menuduh orang tak bersalah dengan sesuatu yang tidak dilakukannya
- Tercemarnya diri dan lisan akibat terjerumus membicarakan perkara-perkara tanpa bersikap selektif.
- Hilangnya rasa saling percaya di tengah masyarakat.
- Kebencian orang lain, terutama ketika sumber isu negatif itu justru dari mereka yang aktif dalam dunia dakwah dan para pemuda kebangkitan.
Siapa yang ingin mengetahui lebih lanjut akibat buruk menyebarkan isu negatif ini maka ia harus menelaah kembali kisah ifk (kisah dusta tentang sayyidah Aisyah ), yang merupakan contoh paling nyata tentang isu negatif.