Setiap Muslim diperintahkan untuk mengetahui agama Islam dengan dalil-dalilnya dari Al-Quran dan Sunnah. Allah—Subhanahu wata`ala—berfirman (yang artinya): “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (Tuhan sesembahan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan dosa orang-orang Mukmin...” [QS. Muhammad: 19].
Dirwiayatkan dari Mu`awiyah ia berkata, Rasulullah
bersabda: “Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Dia memahamkan Agama kepadanya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Ibu Rajab Al-Hanbali berkata “Selama ilmu masih berada di atas dunia maka manusia berada dalam hidayah, dan beradanya ilmu adalah dengan beradanya ahli ilmu. Jika ahli ilmu dan orang-orang yang mengamalkannya telah pergi maka manusia akan jatuh ke dalam kesesatan.”
Maka keterjagaan dan keselamatan dari bid`ah-bid`ah tersebut ialah dengan memegang teguh ajaran-ajaran Al-Quran dan Sunnah. Allah—Subhanahu wata`ala—berfirman (yang artinya): “Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (Agama) Allah dan janganlah kalian bercerai-berai...” [QS. Ali `Imran: 103]. Nabi bersabda, “Maka berpegang teguhlah kalian pada Sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin setelahku.” Derajat manusia bertingkat-tingkat dalam kualitas memegang taguh Sunnah ini. Timbangan kebaikan seorang Muslim akan menjadi berat dengan amal shalih ini dan dengan komitmennya terhadap Sunnah Nabi
dan para Shahabat beliau.
Adapun orang yang mengaku berislam tetapi tidak berusaha mengetahui kebenaran amalan dan akidahnya, yang sesuai dengan amal dan akidah Salaf Shalih, mereka itu laksana buih, seperti buih air bah, sebagaimana dikabarkan oleh Nabi .
Maka muhasabahilah dirimu wahai kaum Muslim, terapkanlah ajaran-ajaran Islam pada dirimu supaya engkau meraih janji Allah yang pasti benar—bagi mereka yang mengikuti Sunnah dan menjauhi bid`ah—dalam firman-Nya (yang artinya): “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka Surga-Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah: 100].
Keselamatan dari bid`ah—juga—ialah dengan memahami dan menafsirkan Al-Quran dan Sunnah sesuai pemahaman Salaf Shalih. Karena merekalah yang telah diridhai Allah dalam tafsir mereka terhadap Al-Quran dan Hadits, merekalah yang diridahi Allah dalam akidah dan amal ibadah mereka, merekalah yang diridhai Allah dalam penerapan mereka terhadap Islam, sebagaimana dalam firman Allah—Subhânahu wata`âlâ—(yang artinya): “Sungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” [QS. Al-Fath: 18]. Dan Allah mengancam siapa saja yang menyelisihi mereka dalam firman-Nya (yang artinya): “Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. An-Nisa': 115].
Keselamatan dari bid`ah—juga—ialah dengan komitmen mengikuti Jama’atul Muslimin dan imam mereka, dengan tidak keluar dari mereka, karena diriwayatkan dari Hudzaifah bahwa Nabi
bersabda, “Hendaklah engkau komitman terhadap jamaah kaum Muslimin dan imam (pemimpin) mereka.” [HR. Muslim].
Keselamatan dari bid`ah—juga—ialah dengan kebersihan hati dari tindakan menipu, menzalimi, membenci dan mendengki kaum Muslimin terdahulu maupun belakangan, berdasarkan firman Allah—Subhanahu wata`ala—(yang artinya): “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Hasyr: 10], dan sabda Nabi yang diriwayatkan dari Tamim Ad-Dari
: “Agama itu adalah nashihah (loyalitas dan cinta terhadap Islam dan Umat Islam), Agama itu adalah nashihah, Agama itu adalah nashîhah.” [HR. Muslim].
Adapun yang dapat melindungi diri dari syahwat haram dan maksiat ialah rasa takut pada Allah—Subhanahu wata`ala, dengan seorang hamba menyadari bahwa Allah selalu mengawasinya, mengetahui yang tersembunyi dan yang tampak darinya, mencatat seluruh amalnya, tidak terlepas sedikitpun amalan kecil maupun besar melainkan tercatat secara detail. Juga dengan mengingat kematian yang sangat dahsyat rasa sakitnya di setiap nadi dan persendian, mengingat alam kubur dan peristiwa-peristiwa besar setelahnya, mengambil palajaran dari orang-orang yang biasa tenggelam dalam ketikmatan dan syahwat lalu maut menghalangi antara mereka dan kebiasaan mereka itu. Kelezatan itupun lenyap dan yang tersisa hanayalh penyesalan dan pembalasan. Sesungguhnya angan-angan, keterpedayaan oleh kehidupan, kesehatan dan kekosongan, semua itu mendorong seseorang untuk bermaksiat kepada Allah—Subhanahu wata`ala.
Allah—Subhanahu wata`ala—berfirman(yang artinya): “Adapun orang yang melampaui batas. Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka sesungguhnya Nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya Surgalah tempat tinggal(nya).” [QS. An-Nazi`at: 37-41].
Jika seorang hamba yakin dengan besarnya pahala meninggalkan maksiat maka ia akan berhati-hati darinya, membenci dan menjauhinya. Allah—Subhanahu wata`ala—berfirman (yang artinya): “Dan orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya baginya dua Surga.” [QS. Ar-Rahman: 46]. Allah—Subhanahu wata`ala—berfirman (yang artinya): “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kalian bertakwa.” [QS. Al-An`am: 153].
Maka hendaklah setiap Muslim memuhasabai dirinya sebelum amalannya ditampilkan di hadapan Allah. Hendaklah ia juga memperhatikan niat yang ikhlas karena Allah—Subhânahu wata`âlâ—dalam setiap amalnya yang zahir maupun batin. Dan hendaklah seluruh amalannya baik yang zahir maupun batin berada di atas petunjuk Rasulullah sesuai dengan Sunnah beliau.
Para ulama berkata, “Sabda Nabi : ‘Barang siapa mengamalkan amal yang tidak kami perintahkan maka amalan itu tertolak’ adalah timbangan bagi seluruh amalan zahir dan merupakan prinsip agung di antara prinsip-prinsip Islam, dan sabda beliau: ‘Sesungguhnya (diterima atau tidaknya) amalan-amalan itu tergantung niatnya’ adalah timbangan bagi amal-amal batin.
Maka hendaklah perhatianmu, wahai Muslim, terhadap keikhlasan niat sebelum beramal lebih besar daripada perhtianmu terhadap amal itu sendiri. Hendaklah usahamu dalam beramal sesuai ajaran Sunnah lebih besar daripada sekedar memperbanyak amalan. Karena Nabi pernah bersabda dalam sebuah khutbah beliau yang diriwayatkan oleh Jâbir Ibn Abdullah—
: “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitab Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad—
, dan seburuk-buruk perkara adalah bid`ah-bid`ah dan setiap bid`ah itu adalah kesesatan.” [HR. Muslim].
Beliau berulangkali menyampaikan hadits di atas guna menasihati Umat. Dengan hadits ini beliau meletakkan asas dan menegaskan kewajiban mengikuti Sunnah Muhammad serta mengingatkan agar menghindari bid`ah-bid`ah menyimpang. Allah—Subhanahu wata`ala—berfirman (yang artinya): “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [QS. Al-Hasyr: 7], “Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiqin [orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada Rasul], orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” [QS. An-Nisa': 69]