Islam Web

  1. Fatwa
  2. PUASA
  3. Golongan Yang Diberikan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa
  4. Orang Yang Sakit Menahun
Cari Fatwa

Penderita Penyakit Parah Apabila Telah Mengeluarkan Kafarat Lalu Sembuh, Apakah Wajib Meng-qadhâ'?

Pertanyaan

Saya seorang gadis berumur 20 tahun. Ketika saya berusia 16 tahun, saya menderita penyakit yang sangat parah, sehingga dokter melarang saya berpuasa sama sekali. Akhirnya, saya pun tidak berpuasa, dan ayah saya mengeluarkan fidyah untuk setiap hari puasa yang saya tinggalkan itu. Demikian pula dengan empat kali bulan Ramadhân berikutnya. Tetapi sekarang, alhamdulillâh, saya telah sembuh dan bisa berpuasa pada bulan Ramadhân tahun ini secara sempurna. Pertanyaan saya sekarang: Apakah telah cukup bagi saya fidyah-fidyah yang telah dibayarkan untuk saya pada bulan-bulan Ramadhân sebelumnya itu, ataukah saya wajib meng-qadhâ' semua puasa tesebut? Jika jawabannya "Ya", apakah saya wajib meng-qadhâ' puasa empat bulan tersebut seluruhnya sebelum datang bulan Ramadhân berikutnya, ataukah itu tidak wajib?

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Jika dahulu Anda mengeluarkan fidyah atas dasar bahwa penyakit Anda tidak memiliki harapan sembuh dengan keterangan dokter, dan Anda tidak dapat berpuasa karenanya, kemudian Allah menyembuhkan Anda, maka kafarat tersebut telah cukup bagi Anda dan Anda tidak wajib meng-qadhâ' menurut pendapat mazhab Syafi`i dan Hambali. Tetapi menurut pendapat yang lain, Anda harus meng-qadhâ'.

Namun pendapat yang barangkali lebih kuat adalah Anda tidak wajib meng-qadhâ', karena seorang yang membayar fidyah telah melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, sehingga ia telah terbebas dari tanggung jawab, sehingga tidak perlu lagi dibebani dengan tanggung jawab qadhâ'.

Adapun jika Anda membayar fidyah padahal penyakit Anda masih memiliki harapan sembuh, maka fidyah tersebut tidak berlaku untuk Anda (karena dikeluarkan sebelum tiba masa wajibnya), dan Anda wajib meng-qadhâ' semua puasa tersebut. Anda juga wajib meng-qadhâ'-nya sebelum datang bulan Ramadhân berikutnya jika memungkinkan. Apabila Anda belum meng-qadhâ' hingga tiba Ramadhân berikutnya padahal Anda mampu untuk itu, maka (selain meng-qadhâ'), Anda juga harus membayar kafarat.

Ibnu Hajar Al-Haitami dari mazhab Syafi`i menjelaskan, "Barang siapa menunda qadhâ' puasa Ramadhân padahal ia bisa melaksanakannya, karena ia tidak sedang berada dalam perjalanan misalnya atau tidak menderita sakit dalam rentang waktu yang cukup untuk meng-qadhâ' semua puasanya setelah Idul Fitri, tidak termasuk hari Idul Adha dan hari-hari Tasyrîq, hingga masuk bulan Ramadhân berikutnya, maka selain wajib meng-qadhâ', ia juga wajib membayar kafarat satu mud makanan untuk satu hari puasa yang ia tunda qadhâ'-nya, karena enam orang Shahabat—Semoga Allah meridhai mereka—memfatwakan demikian, dan tidak diketahui ada Shahabat lain yang membantah pendapat itu. Adapun jika ia tidak memenuhi kriteria di atas, maka ia tidak harus membayar kafarat, karena dalam kondisi tersebut, menunda pelaksanaan puasa asli saja dibolehkan, sudah tentu menunda qadhâ'-nya lebih dibolehkan." [Tuhfatul Muhtâj]

Selain itu, syarat wajibnya membayar kafarat tersebut adalah mengetahui hukum keharaman menunda qadhâ'. Adapun jika Anda tidak tahu hukum keharaman menunda qadhâ' (hingga masuk Ramadhân berikutnya) maka Anda hanya wajib meng-qadhâ' dan tidak wajib membayar kafarat, sebagaimana dijelaskan dalam kitab "Hâsyiyah Ad-Dasûqî `alâ Asy-Syarh Al-Kabîr". Dan dalam kitab Tuhfatul Minhâj karya Ibnu Hajar Al-Haitami disebutkan: "Al-Adzra`i berkata: 'Jika seseorang menunda qadhâ' karena lupa atau tidak tahu hukumnya maka tidak ada kafarat baginya, sebagaimana pemahaman yang dikandung oleh perkataan mereka (para ulama)'. Maksudnya adalah: tidak tahu hukum keharaman menunda qadhâ' meskipun ia tinggal di dekat para ulama, karena tersembunyinya hukum ini."

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait