Islam Web

Haji & Umrah

  1. Haji & Umrah
  2. Akhlak Tercela

Sibuk dengan Aib Orang Lain

Sibuk dengan Aib Orang Lain

Kalaulah seseorang mau melihat berbagai aib (kekurangan) dirinya niscaya ia tidak lagi akan sibuk mengurus aib orang lain, karena setiap orang dituntut untuk memperbaiki dirinya terlebih dahulu, dan ia akan ditanya tentang dirinya terlebih dahulu sebelum tentang orang lain. Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya):

·         "Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya." [QS. Al-Muddatstsir: 38].

·         "Barang siapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya ia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa yang sesat maka sesungguhnya ia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." [QS. Al-Isrâ': 15].

·         "Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain." [QS. Al-An`âm: 164]

Jika seorang hamba memiliki sifat seperti ini (lebih disibukkan oleh dirinya sendiri daripada mengorek kekurangan orang lain), maka orang lain pun akan merasa suka kepadanya, dan ia akan dicintai oleh manusia. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—juga akan memberi ganjaran yang sesuai dengan tipe amalnya itu, yaitu menutup aibnya dan menjaganya dari ketajaman lidah orang lain.

Adapun orang yang suka mencari-cari aib orang lain, serta hobi membicarakan dan mencela manusia di sekitarnya, niscaya juga tidak akan selamat dari kebencian dan gangguan mereka. Ganjarannya pun akan sesuai dengan tipe perbuatannya itu. Karena orang yang suka mencari-cari aib orang lain niscaya Allah juga akan mencari-cari dan menyingkap aibnya, bahkan sekalipun di dalam rumahnya sendiri.

Kesibukan seorang hamba mencari dan membicarakan aib orang lain boleh jadi ia jadikan sebagai tabir untuk menutupi aib dan keburukannya sendiri. Seorang Arab badui pernah mendengar seorang laki-laki yang membicarakan keburukan orang lain, lalu ia pun berkata, "Aku dapat mengetahui aibmu dengan banyaknya engkau membicarakan aib orang lain, karena orang yang mencari-cari aib, biasanya akan mencarinya sesuai dengan seberapa banyak aib itu ada pada dirinya sendiri."

Syaikh Muhammad ibnu Ismail Al-Muqaddim—Semoga Allah melindunginya—berkata, "Orang yang melihat dirinya sangat kecil biasanya selalu berusaha membesar-besarkan aib orang lain. Oleh karena itu, karakter seseorang akan tampak dari sejauh mana ia melakukan hal seperti ini. Apabila diketahui bahwa ia sibuk dengan membesar-besarkan aib orang lain dan mencela manusia, itu adalah cermin yang menggambarkan betapa ia merasa dirinya kerdil, hina, dan sangat kecil. Itu disebabkan karena ia berkeyakinan bahwa dirinya tidak akan bisa berhasil kecuali di atas puing kehancuran orang lain, sehingga ia selalu berusaha untuk menghancurkan siapa pun. Oleh karena itu, ia sering sekali mengkritik dan menyebut-nyebut aib orang lain. Padahal, itu adalah cermin yang memantulkan gambaran bahwa perasaannya dan kepercayaan dirinya sangat lemah, dan ia merasa dirinya sangat kecil dan hina. Perasaan itulah yang membuat ia sibuk dengan berbagai kekurangan orang lain. 'Aun ibnu Abdullah—Semoga Allah merahmatinya—pernah berkata, 'Orang yang selalu melihat aib orang lain, aku rasa tidak lain adalah karena sebuah kekurangan yang ada pada dirinya'. Dalam sebuah riwayat, Muhammad ibnu Sîrîn—Semoga Allah merahmatinya—berkata, 'Kami dahulu menyampaikan bahwa orang yang paling banyak kesalahannya adalah orang yang paling banyak menyebut kesalahan orang lain'. Mâlik ibnu Dînâr—Semoga Allah merahmatinya—juga pernah berkata, 'Cukuplah menjadi dosa bagi seseorang ketika ia bukan orang shalih, lalu duduk di berbagai majelis dengan membicarakan kesalahan orang-orang shalih'. Abu 'Âshim An-Nabîl juga berkata, 'Orang yang suka menyebut hal-hal yang tidak baik pada diri orang lain tidak lain adalah orang rendahan yang tidak memiliki Agama'."

Bakar ibnu Abdullah berkata, "Jika kalian melihat seseorang yang disibukkan oleh aib orang lain dan lupa terhadap aibnya sendiri, ketahuilah bahwa ia telah diseret kepada keburukan."

Manusia dengan segala kekurangannya dapat melihat aib saudaranya walaupun sangat tersembunyi, sementara ia melupakan aibnya sendiri walaupun begitu jelas terlihat. Sebuah hadits diriwayatkan dari Abu Hurairah—Semoga Allah meridhainya—bahwa Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—bersabda, "Salah seorang dari kalian melihat kotoran kecil di mata saudaranya sementara ia lupa sepotong kayu besar di matanya sendiri."

Menyibukkan diri dengan aib orang lain pasti akan mendorong seorang hamba untuk bergunjing (ghibah). Dan kita telah mengetahui betapa perilaku ghibah mengandung dosa dan keburukan yang begitu besar, sehingga seorang muslim yang jujur dan cerdas pasti akan berusaha membersihkan diri darinya.

Selain itu, menyibukkan diri dengan aib orang lain akan mengakibatkan tersebarnya permusuhan dan kebencian di tengah masyarakat. Ketika seseorang membicarakan aib orang banyak, mereka juga akan berbicara tentang dirinya, bahkan mungkin akan berbicara tidak benar tentangnya.

Jika kita melihat kembali bagaimana kondisi generasi Salaf—Semoga Allah meridhai mereka, kita pasti akan merasa takjub melihat mereka bersikap dalam hal ini. Mereka begitu disibukkan oleh kekurangan diri mereka sendiri, sehingga tidak sempat mengurus aib-aib orang lain. Bahkan mereka memandang diri mereka dengan pandangan tawadhuk yang begitu sempurna, walaupun kedudukan mereka begitu tinggi dan mulia. Mereka begitu takut berbicara tentang apa yang ada pada diri orang lain, karena khawatir kalau mereka juga kelak diuji dengan aib-aib yang mereka bicarakan itu. Al-A'masy berkata bahwa ia mendengar Ibrahim berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar melihat sesuatu yang tidak aku sukai. Tetapi tidak ada yang mencegahku berbicara tentang hal itu selain kekhawatiranku kalau aku juga diuji dengan hal serupa."

Selain itu, mereka demikian meyakini dan mengamalkan sabda Nabi—Shallallâhu `alaihi wasallam, "Di antara bukti baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya."

Suatu ketika, seorang yang zuhud bertemu dengan seorang zuhud yang lain, lalu berkata kepadanya, "Wahai saudaraku, sungguh aku mencintaimu karena Allah." Orang kedua menjawab, "Kalau engkau mengetahui tentang diriku apa yang aku ketahui tentang diriku niscaya engkau akan membenciku karena Allah." Lalu yang pertama berkata, "Kalau aku mengetahui apa yang engkau ketahui tentang dirimu, tentunya segala kekurangan yang aku ketahui tentang diriku akan menyibukkanku dari membencimu."

Maka wahai saudaraku, di dalam diri Anda ada banyak hal yang mestinya membuat Anda tidak sempat mengorek aib orang lain. Dalam diri Anda terdapat berlipat-lipat dari apa yang Anda lihat pada diri orang lain. Karena itu, janganlah Anda membukakan untuk diri Anda pintu ghibah, prasangka, dan peluang menyingkap tirai rahasia orang lain dengan sibuk membicarakan aib mereka. Jangan Anda membuka untuk diri Anda pintu keburukan yang tidak akan bisa ditutup setelah itu, yaitu membicarakan keburukan orang lain sehingga mereka pun berbicara tentang diri Anda.

 

 

 

 

Artikel Terkait

Keutamaan Haji