Islam Web

  1. Fatwa
  2. KESEHATAN, MEDIA, BUDAYA, DAN SARANA HIBURAN
  3. Kesehatan
  4. Masalah Keshatan Lainnya
Cari Fatwa

Syubhat tentang Menikah antar Sesama Kerabat dan Bahayanya

Pertanyaan

Apakah ada dalil dari Syariat tentang larangan menikah dengan kerabat? Karena sebagian dokter menetapkan bahwa pernikahan semacam ini menyebabkan penyakit genetik.

Jawaban

Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.

Allah mengharamkan menikah dengan sebagian kerabat (keluarga dekat), seperti: ibu, anak perempuan, putri saudara laki-laki (keponakan), putri saudara perempuan, saudara perempuan ayah (bibi), dan saudara perempuan ibu (bibi). Menikahi mereka termasuk ke dalam pernikahan dengan kerabat yang diharamkan secara tegas dalam syariat Islam.

Adapun kerabat-kerabat perempuan yang selain itu, Islam telah menghalalkannya. Di dalam Al-Quran, setelah menyebutkan macam-macam wanita yang diharamkan untuk dinikahi (yang artinya): "Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu kalian." [QS. An-Nisâ': 23], Allah—Subhânahu wata`âlâ—berfirman (yang artinya): "Dan dihalalkan bagi kalian (menikahi) perempuan-perempuan selain yang demikian." [QS. An-Nisâ': 24]

Maka menikah dengan sepupu, yaitu putri saudara perempuan ayah, atau putri saudara laki-laki ayah, atau putri saudara laki-laki ibu, atau putri saudara perempuan ibu, termasuk hal yang diketahui kebolehannya secara pasti dalam syariat Islam. Adapun terkait dalil-dalil yang menganjurkan untuk menikah dengan wanita jauh, bukan wanita kerabat, tidak ada satu pun riwayat yang shahîh dari Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wa sallam—tentang itu. Dalil shahîh yang datang dari Nabi justru menyatakan bahwa setiap orang berhak memilih pasangan yang sepadan dengannya dari sisi agama maupun akhlak.

Keterangan medis yang banyak tersebar di masyarakat bahwa menikahi perempuan kerabat dapat menimbulkan banyak penyakit masih membutuhkan bukti dan argumentasi, bahkan banyak dokter yang membantah dan melemahkan keterangan tersebut.

Dr. Muhammad Al-Bâr mengomentari hal ini dengan berkata, "Penyakit genetik yang kita sebut dengan resesif sebenarnya ada pada diri seorang suami maupun istri. Keduanya nampak bebas dari penyakit ini yang akan bertambah dengan menikahi kerabat. Persentase penyakit genetik—dalam satu generasi—di tengah masyarakat tidak lebih dari 2% total kasus kecacatan yang menimpa anak-anak pada saat mereka lahir, yaitu sekitar 2-3% atau dari 3–4%. Memang ada peningkatan, tetapi bukan dalam jumlah yang signifikan seperti yang populer dan tersebar di kalangan masyarakat. Propaganda-propaganda bahkan juga sikap sebagian dokter yang secara intensif memerangi pernikahan antar kerabat tidaklah dapat dibenarkan."

Jadi, penyakit genetik ini terjadi hanya dalam angka yang sangat kecil, dan itu pun dalam kasus pernikahan antar sesama kerabat yang dilakukan secara berkali-kali dalam satu keluarga.

Adapun Dr. Ahmad Syauqi Ibrahim, konsultan Penyakit Dalam di Rumah Sakit Ash-Shabâh, Kuwait, menyimpulkan dari hasil risetnya bahwa anggapan menikah antar sesama kerabat mengakibatkan penyakit genetik pada anak tidaklah benar secara mutlak, dan tidak dapat dijadikan sebagai ketentuan atau kaidah umum. Justru menikah dengan keluarga dekat memiliki beberapa efek positif, bahkan juga terkadang dari sisi kesehatan, dan dapat menyelamatkan generasi-generasi mendatang dari berbagai penyakit.

Kemudian Dr. Ahmad Syauqi melanjutkan bahwa sebenarnya tidak ada kelebihan menikahi kerabat dibandingkan menikahi wanita jauh, begitu pula tidak ada kelebihan menikahi wanita jauh dibandingkan menikahi keluarga dekat. Setiap laki-laki maupun perempuan berhak memilih pasangan hidupnya sesuai dengan kriteria fisik dan akhlaknya. Jika pernikahan dengan kerabat memiliki efek bahaya, niscaya Allah tidak akan menghalalkannya bagi Rasul-Nya. Allah—Subhânahu wa Ta`âlâ—memberi isyarat yang tegas dalam firman-Nya (yang artinya): "Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri- istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya, dan juga hamba sahaya yang engkau miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu." [QS. Al-Ahzâb: 50]

Rasulullah—Shallallâhu `alaihi wasallam—menikah dengan Zainab bintu Jahsy yang merupakan putri saudara perempuan ayah beliau (putri bibi beliau). Beliau juga menikahkan putri beliau, Fatimah dengan anak paman beliau, Ali ibnu Abi Thâlib. Para ulama salaf dahulu juga biasa menikah dengan keluarga dekat mereka.

Masalah ini pada akhirnya kembali kepada tabiat perempuan dan laki-laki itu sendiri. Adanya anak yang terlahir cacat dari pasangan suami-istri yang memiliki hubungan kerabat bukan berarti semata-mata diakibatkan oleh pernikahan antar sesama kerabat itu. Oleh karenanya, tidak sepantasnya kita menghindari sedemikian rupa pernikahan antar sesama kerabat dengan alasan seperti ini, dan seseorang tidak patut dihinggapi rasa khawatir untuk menikahi kerabatnya sendiri. Begitu juga, seorang istri atau suami tidak boleh menahan hamil karena takut melahirkan keturunan yang cacat. Kalau seseorang merasa takut terhadap apa akan terjadi di masa mendatang, niscaya ia tidak akan dapat bergerak walau hanya satu langkah. Kita dituntut untuk menyempurnakan sebab (berikhtiar) dan rela menerima qadhâ' dan qadar Allah.

Wallâhu a`lam.

Fatwa Terkait