Apabila shalat dan amal tidak diterima selama 40 hari karena telah melakukan perbuatan keji, lalu apa gunanya menunaikan ibadah tersebut?
Kemudian, apakah itu tidak bertentangan dengan firman Allah—Subhanahu wa Ta`ala—(yang artinya): "Katakanlah: 'Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya'." [QS. Az-Zumar: 53]?
Segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah beserta keluarga dan para shahabat beliau.
Istilah tidak diterimanya ibadah dalam nash-nash Syariat (Al-Quran dan Sunnah) terkadang bermakna bahwa ibadah itu rusak dan tidak sah, dan terkadang juga bermakna tidak diberi pahala dan tambahan derajat namun tetap sah dan membebaskan pelakunya dari tanggungan kewajiban.
Di antara contoh makna yang pertama adalah sabda Nabi : "Tidak diterima shalat (yang dilakukan) tanpa bersuci." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]. Demikian juga sabda Nabi
: "Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian apabila ia berhadats hingga ia berwudhu." [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Sedangkan contoh makna yang kedua adalah sabda Nabi : "Barang siapa yang mendatangi tukang tenung, lantas ia bertanya kepadanya mengenai sesuatu (untuk diramal), maka tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari." [HR. Muslim]. Begitu juga dengan hadits tentang peminum minuman keras dan seorang hamba sahaya yang melarikan diri dari tuannya, bahwa shalat mereka tidak diterima.
Intinya, pertanyaan yang Saudara penanya sampaikan itu sebenarnya tidak perlu ada. karena tidak diterimanya ibadah dengan makna pertama, yaitu rusak dan tidak sahnya ibadah itu, mengharuskan ia diulangi kembali, lantaran ibadah itu telah dilakukan secara tidak sah. Adapun tidak diterimanya ibadah dengan makna kedua—dan inilah yang kami yakini menjadi maksud pertanyaan di atas—maka dengan melakukan ibadah tersebut dalam kondisi seperti itu berarti pelakunya telah menjalankan perintah Allah dan terbebas dari tanggungan kewajiban (hanya saja tidak mendapatkan pahalanya).
Seorang peminum minuman keras misalnya, tidak gugur kewajibannya menjalankan shalat yang Allah perintahkan kepada setiap mukallaf, dan tidak ada alasan untuk meninggalkannya. Maksud dari tidak diterimanya ibadah tersebut adalah bahwa ia tidak akan mendapatkan pahala dalam mengerjakannya, atau pahala yang didapatkannya tidak sempurna. Namun, ia tetap wajib bertaqwa kepada Allah dan membersihkan dirinya agar ibadah dan ketaatannya membuahkan hasil dan diterima di sisi Allah. Allah berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa." [QS. Al-Ma'idah: 27]
Kemudian tidak diterimanya amal ketaatan peminum minuman keras dan sejenisnya atau tidak diberinya ia pahala yang banyak itu terjadi jika ia belum bertaubat kepada Allah. Adapun jika ia telah bertaubat dan menjadi orang yang bertaqwa, maka Allah—Subhanahu wa Ta`ala—pun akan menerima taubatnya, mengampuni dosanya, dan kembali menerima amal-amal ketaatannya. Dalam sebuah hadits shahîh, Nabi bersabda, "Orang yang bertaubat dari dosa itu seperti orang yang tidak memiliki dosa." [HR. Ibnu Majah dan lain-lain]
Dengan ini, dapat dipahami bahwa tidak ada kontradiksi antara tidak diterimanya ibadah peminum minuman keras dengan diampuninya semua dosa sebagaimana terkandung dalam ayat yang disebutkan di akhir pertanyaan.
Wallahu a`lam
Anda dapat mencari fatwa melalui banyak pilihan